Dalam perang gerilya menghadapi Agresi Militer II Belanda, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dianggap sebagai buronan kolonial nomor satu, seringkali selamat dari kepungan penjajah. Padahal di waktu itu, Pak Dirman –sapaan akrab Jenderal Soedirman- tengah mengalami sakit.
Dikisahkan, pasukan kolonial telah mengepung suatu tempat yang diduga menjadi lokasi persembunyian Sang Panglima Besar. Belanda saat itu terkecoh oleh sekumpulan orang yang sedang duduk berzikir, sang Komandan Belanda bahkan tak menyangka bahwa di antara mereka terdapat salah satu pahlawan nasional ini.
Kisah tersebut diceritakan kembali dalam penampilan sosio drama tentang peran Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dihelat untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-72 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Banten, Kamis (5/10/2017) lalu.
Dalam sosio drama tersebut dikisahkan, pada 19 Desember 1948 silam, penduduk Yogyakarta tengah menikmati kemerdekaan. Namun, kenikmatan tersebut hancur menyusul serangan pasukan agresor Belanda.
Rakyat Yogyakarta pun berlarian tunggang langgang ke sana ke mari. Aksi militer ini akhirnya sampai ke telinga Jenderal Soedirman.
Dalam kondisi tersebut, Sang Jenderal lalu memerintahkan Soeparjo Rustam segera melapor kepada Presiden Soekarno untuk meluncurkan perang gerilya.
Namun, ketika Bung Karno mengetahui bahwa Pak Dirman tengah sakit, ia menyarankannya untuk istirahat saja. Saran yang kemudian tak diindahkan sang Jenderal.
Singkat cerita, pada 25 Desember 1948 pasukan Jenderal Soedirman tiba di Kediri. Suasana kota sangat riuh dan bergemuruh. Moril pasukan Belanda tengah berada di puncaknya, lantaran baru saja meruntuhkan benteng pertahanan kota itu dari selatan.
Pasukan Belanda tiba-tiba menyergap markas persembunyian Jenderal Soedirman atas petunjuk salah seorang telik sandi. Pasukan penjajah memang bersumpah akan menangkap Soedirman hidup atau mati, apapun caranya, menyusul semangat sang panglima besar menggelorakan perlawanan.
Seorang prajurit melapor kepada Jenderal Soedirman bahwa Belanda telah mengepung rapat tempat persembunyian mereka. Sejurus kemudian, jenderal besar ini mengajak para prajuritnya untuk menggelar dzikir dan tahlil.
“Mari kita berdzikir agar diberi pertolongan Allah. Jangan sekali-sekali di antara tentara kita ada yang menyalahi janji menjadi pengkhianat nusa, bangsa, dan agama. Harus kamu senantiasa ingat bahwa perjuangan selalu memakan korban. Jangan sekali-kali membuat rakyat menderita,” ujar Pak Dirman yang diperankan sang cucu, Ganang Priambodo Soedirman.
Sebenarnya, Pak Dirman mengetahui keberadaan seorang pengkhianat yang melaporkan dirinya kepada Belanda. Namun anehnya, tentara Belanda tidak percaya bahkan menembak mati pengkhianat tersebut. Ketika Belanda menyerang markasnya, mereka gagal menangkap sang jenderal.
Pasca kejadian tersebut, banyak anak buah Pak Dirman yang keheranan. Mereka lalu menanyakan jimat apa yang dipakai Sang Jenderal, sehingga tentara Belanda kesulitan untuk menangkapnya.
Sang Panglima Besar hanya menyebut tiga hal, “Tidak pernah putus dari keadaan wudhu, shalat lima waktu tepat waktu, dan mengabdikan diri bukan untuk keluarga, golongan, atau partai, tapi untuk bangsa dan negara.” []
Sumber: NU online.