DI antara problem yang tengah dihadapi oleh masyarakat internasional adalah migrasi penduduk, dari negara dunia ketiga ke negara dunia pertama dan kedua. Mereka datang sebagai orang yang terusir dari negerinya dan seringkali menjadi warga negara kelas dua di tempat yang baru.
Bagaimana cara kita menangani para pengungsi dengan pendekatan yang lebih manusiawi? Ada beberapa opsi yang bisa dilakukan:
Pertama, Mengikat Persaudaraan
Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Meskipun datang dengan tidak membawa harta benda, namun kaum Muhajirin tidak ditempatkan di kamp pengungsian karena sudah diikat sebagai saudara dengan kaum Anshor.
Alhasil arus migrasi penduduk dari satu negara ke negara lain tidak menjadi beban APBN/APBD, karena mereka sudah berasimilasi dengan penduduk lokal. Para pedagang yang menyebarkan Islam dimasa lalu juga memakai pola ini. Dengan sedikit kebijakan keimigrasian, hal ini pun masih bisa diterapkan dimasa sekarang.
Kedua, Mendayagunakan Keahliannya
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah kepada para tawanan perang badar. Bagi tawanan yang tidak ditebus, diharuskan untuk mengajari baca tulis kepada ahlul Madinah.
Negara yang menerima arus pengungsi memang harus jeli dalam melihat dan mendayagunakan keahlian dari para pengungsi. Pasti ada permata yang terserak di antara arus besar pengungsi. Mungkin ada yang ahli dalam bidang pendidikan, olahraga, seni dan budaya bahkan ilmu pengetahuan. Bukankah Albert Einstein adalah permata yang diusir dari negaranya?
Ketiga, Program Padat Karya
Itulah kebijakan Rasulullah kepada penduduk Khaibar. Mereka diijinkan berada di khaibar untuk mengolah tanah dan akhirnya bisa memberikan pemasukan besar kepada baitul maal.
Para pengungsi ditempatkan pada satu titik geografi tertentu untuk dikaryakan dibawah pengawasan negara. Bisa dengan sistem bagi hasil maupun dipekerjakan. Hal ini membutuh kejelian dari pimpinan BAPPENAS/BAPPEDA dalam menganalisa area dan program pendukungnya.
Khatimah
Sebagian besar negara memandang persoalan pengungsi sebagai beban. Dengan sedikit kreativitas, sebuah negara bisa menjadikan para pengungsi sebagai tambahan energi dan sumber daya untuk memajukan negerinya. []