KAIRO—Dua partai politik Palestina Hamas dan Fatah menandatangani kesepakatan rekonsiliasi di ibu kota Mesir, Kairo, pada Kamis (12/10/2017) kemarin.
Kesepakatan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengakhiri keretakan kedua pihak selama satu dekade.
Pengumuman tersebut disampaikan setelah perwakilan Hamas dan Otoritas Palestina pimpinan Fatah (PA) menggelar pertemuan yang diadakan di Kairo.
Kedua pihak melaksanakan kesepakatan persatuan yang pernah ditandatangani pada tahun 2011 namun tidak pernah diterapkan.
Saat konferensi pers bersama, kepala delegasi PA Azzam al-Ahmad mengatakan kedua pihak sepakat soal perbatasan Rafah antara Mesir dan Gaza. Patroli perbatasan akan dioperasikan oleh pengawal presiden Presiden PA Mahmoud Abbas pada 1 November 2017.
“Langkah -langkah keamanan akan diterapkan dan diadopsi oleh Otoritas Palestina, yakni para pengawal presiden akan tersebar di seluruh perbatasan,” katanya.
Aal-Ahmad menambahkan, di bawah instruksi Abbas, kedua kelompok tersebut tidak akan kembali ke wilayah Palestina yang diduduki kecuali mereka memiliki kesepakatan akhir yang akan mengesampingkan keretakan hubungan selamanya.
“Ini demi mewujudkan impian Palestina, mengakhiri pendudukan, dan untuk memiliki negara Palestina yang independen dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota,” katanya.
Saleh al-Arouri, wakil kepala kantor politik Hamas juga berbicara, berterima kasih kepada Mesir atas “peran stabilnya”. “Masalah Palestina adalah masalah Mesir,” kata al-Arouri.
Kesepakatan tersebut menetapkan pemilihan dewan legislatif, presiden dan dewan negara harus dilakukan dalam waktu satu tahun setelah penandatanganannya. Meskipun demikian, rincian kesepakatan rekonsiliasi belum diumumkan. Kesepakatan itu juga akan mendorong Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan sementara sebelum pemilihan.
Gerakan Hamas yang berbasis di Gaza memutuskan bulan lalu, pihaknya akan membubarkan komite administratifnya yang mengelola Jalur Gaza. Hal ini juga mengungkapkan kesediaannya untuk berdamai dengan PA, badan semi otonom yang memerintah Tepi Barat.
Selanjutnya, Perdana Menteri PA Rami Hamdallah mengunjungi Gaza dan mengumumkan pemerintah persatuan nasional akan mulai mengambil tanggung jawab administratif atas Jalur Gaza.
Hamas telah menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza sejak 2007 setelah partai tersebut mengalahkan partai Fatah yang telah lama dominan di parlemen dalam pemilihan parlemen.
Hamas kemudian mendorong Fatah keluar dari Gaza dalam konflik berdarah, ketika percobaan yang terakhir menolak untuk mengakui hasil pemungutan suara tersebut. []
Sumber:Aljazeera