Oleh: Sri Wahyuni
sriwahyu9818@gmail.com
Dalam keheningan malam Nadia bersipuh di hadapan Allah. Air mata bercucuran meratapi segala kesalahan dan kekhilafan yang mampir mengotori tubuh sucinya. Tak pernah rasanya, meski jiwa berusaha agar tetap pada jalan yang kokoh, jalan yang lurus toh jiwa tetap singgah pada hal yang tak disukai Allah. Lama Nadia bermunajat, hingga kembali ia bersujud meminta belas kasih Allah untuk selalu menuntunnya menuju RidhoNya.
Air wudhu di sepertiga malam diiringi salat serta doa-doa menyejukkan hati yang sesak oleh prakara dunia. Terkadang, dalam lamunan yang panjang kembali air mata luluh menghujani pipi yang berlesung. Nadia teringat pada petikan ayat al-qur’an, tepatnya pada Qs. 30 Az-Zumar ayat 9. “(Apakah kamu hai orang munafik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab akhirat dan mengharapkan rahmad TuhanNya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Ohh hati telah menjadi batu pekiknya. Lelah mengalahkan rasa takut pada yang harusnya lebih ditakuti, Allah pencipta langit dan bumi. Sungguh, bila ingin jujur sejujur-jujurnya segala yang ia miliki adalah kepunyaan Allah. Pada suatu hari nanti, semua akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara mulut bungkam tak kuasa melakukan pembelaan.
Mukena yang dikenakan ia tanggalkan. Berjalan menghampiri rak buku untuk mengambil salah satu untuk dibaca. Membaca sambil menunggu waktu subuh, pikirnya. Seketika ia teringat pada ponsel yang mati semalaman. Ia meraih ponsel berwarna putih di atas meja. Nadia mencas ponsel putihnya, tak lama berselang dihidupkannya ponsel itu. Hati Nadia tiba-tiba tergerak untuk memastikan bahwa tidak ada berita penting untuk diketahuinya.
Betapa tercengang Nadia, ketika melihat ponselnya penuh dengan pemberitahuan. Mbak Nur salah satu teman di SMA dulu menghubunginya sampai sebelas kali diikuti deretan pesan whatshapp dan sms. Tak hanya itu pesan juga didapatnya dari Nurul, mas Rama dan Ana adiknya. Dengan tangan bergetar Nadia membuka satu demi satu pesan yang masuk. Pesan diterima pukul 21.00, dengan nama mbak Nur.
“Assalamuallaikum, dek Nadia. Sebelas kali mbak menghubungimu namun tak ada jawaban. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Tepat pukul setengah delapan, Aisyah Ummu Sofia mengalami kecelakaan saat menuju Jogja. Ummu ditabrak truk yang mengangkut semen di Kebumen. Dek hati mbak Nur nelangsa, tidak kuasa menyaksikan tubuhnya bermandikan darah. Air mata mbak bercucuran. Mbak ingin mendekap seseorang, mbak membutuhkan kamu dek Nadia. Saat ini dek Ummu di rawat di rumah sakit Dr. Sudirman Kebumen kondisinya sangat kritis. Cepatlah kemari dek. Mbak membutuhkan adek.”
Seperti ribuan anak panah menusuk dada Nadia, ketika membaca setiap pesan dari para sahabat dekat tentang mbak Ummu. Sosok gadis itu menari-nari dalam ingatannya.
“Ya Rabb.”
Tangis tak kuasa lagi dibendung. Aisyah Ummu Sofia, namanya sangat Ayu seayu wajah dan hatinya. Seorang kakak, seorang sahabat yang pertama kali mengenalkannya tentang Islam. Mengarahkannya pada jalan lurus, jalan yang di ridhoi Allah. Ia yang pertama kali mengenalkan jilbab. Memberi beberapa potong kain berukuran lebar, dimana Nadia tak yakin untuk mengenakannya saat itu.
“Dek Nadia, mungkin adek tidak ingin mengenakannya sekarang. Tapi mbak yakin suatu saat nanti jilbab dari mbak ini akan adek kenakan.”
Jilbab warna abu-abu diraihnya di dalam almari. Jilbab pemberian mbak Ummu. Jilbab yang sering ia pakai ketika ada acara keagamaan di kampus. Seusai salat subuh, Nadia bergegas menuju Kebumen dengan bus.
Pikiran Nadia berkelana mengenang setiap waktu saat bersama mbak Ummu. Mbak Ummu satu tahun lebih tua darinya, adek kandung mbak Nur. Mbak Nur dan mbak Ummu adalah saudara kembar. Hanya saja tidak kembar identik. Meski mbak Nur adalah seorang kakak, tubuh mbak Ummu jauh lebih tinggi dibandingkan mbak Nur. Ada satu hal yang sama sekali tidak masuk ke dalam nalar, tentang pertemuaan yang telah digariskan.
Suatu sore yang menyesakkan bagi Nadia kala itu. Di taman sekolah yang hening, ia melamun sendirian memikirkan sosok pujaan yang melabuhkan hati pada gadis lain. Siapa yang tidak kenal dengan mas Rama? Ketua Rohis sekaligus ketua OSIS. Sifatnya yang kalem sebagai seorang lelaki, merobohkan hati yang dibangun Nadia dengan kokoh. Dengung janji yang ia sematkan dalam hati, bahwa tak akan pernah ada duka, tak akan pernah ada luka oleh seorang lelaki mana saja. Belajar sebagai tugas utama kini buram dihapus entah oleh apa.
Tak akan ada yang dapat menyaingi sosok Aisyah Ummu Sofia di sekolah ini untuk menarik hati mas Rama. Perempuan itu begitu sempurna, begitu sayang untuk dilepas. Tapi siapa sangka, berawal dari cemburu yang menggebu mendekatkan dirinya pada seorang gadis bernama Ummu Sofia. Kelembutan hatinya bak mutiara bercahaya putih yang indah dipandang mata.
Berawal dari Taffakur Alam, bukan mas Rama yang selalu dilihatnya meskipun niat awal Nadia mengikuti kegiatan itu agar dapat merekam setiap langkah sang pujaan, namun mata hanya terus merekam sosok gadis bernama Ummu Sofia. Kebetulan mas Rama ada acara mendadak sehingga meninggalkan acara rutin akhir tahun Rohis itu. Entah skenario seperti apa yang dibuat oleh Tuhan, kebetulan bulan kelahiran Nadia dan mbak Ummu sama, yaitu Januari. Mereka berada dalam satu kelompok yang sama dalam kegiatan outbond. Satu hari yang mengubah. Tak disangka mbak Ummu memiliki hobi yang sama dengan Nadia. Sama-sama mencintai sastra.
Cemburu, sakit hati, iri tiba-tiba tersapu oleh angin. Nadia merasa nyaman bergaul dengan mbak Ummu. Darinya perubahan terlihat pada diri Nadia.Bacaan al-qur’annya semakin lancar, jilbab yang dulu dikenakan setengah-setengah kini dikenakannya sepenuh hati. Menampilkan rona wajah yang tak biasa pada wajah Nadia. Segala bentuk amalan-amalan mulai ditunaikannya. Tentu saja dengan bimbingan mbak Ummu. Teman Nadia juga semakin banyak.
Mas Rama sudah lama diusirnya jauh-jauh dari hati. Mbak Ummu? Hanya perasaan sesaat yang kemudian ditelan oleh waktu. Baik mas Rama maupun mbak Ummu hanya berteman seperti biasa. Tidak lebih juga tidak kurang. Saat kelulusan bukan berarti selesai antara mbak Ummu dan Nadia. Mereka masih sering bertegur sapa lewat media sosial. Sesekali Nadia datang menyambangi mbak Ummu di Jogja. Ya, mbak Ummu kuliah di salah satu Universitas di Jogja. Jurusan Ekonomi di UGM.
Persahabat begitu mengundang kebahagiaan meski kadang pedih oleh perpisahan. Dari mbak Ummu Nadia belajar banyak hal. Artikel-artikel Islami yang dikirim mbak Ummu beberapa waktu lalu kembali dilihatnya. Jalanan nampak lenggang tak macet seperti biasanya. Empat jam lebih, Nadia duduk termenung di dalam bus. Menyaksikan lalu lalang kendaraan, kesibukan orang-orang yang berlalu secepat kedipan mata. Pada akhirnya semua akan hilang.
Nadia berjalan sedikit tergesa mencari ruangan di rumah sakit Dr. Sudirman Kebumen yang di tunjukan mbak Nur. Sesampai di sana, mbak Nur menghambur memeluk Nadia dengan tangis yang terisak-isak. Pak Slamet, abi mbak Ummu tampak murung memikirkan mbak Ummu yang entah bagaimana nasibnya.
Ibu Khadijah, ummi mbak Ummu sudah lama wafat karena penyakit kanker payudara. Pak Slamet adalah orang tua satu-satunya yang dimiliki mbak Nur dan mbak Ummu. Mas Rama, laki-laki itu tengah berdiri di dekat pintu, menanti dokter keluar untuk mendapatkan beberapa informasi. Mas Rama menyapa Nadia dengan senyum tipis. Tak hanya mas Rama, beberapa sahabat mbak Ummu tampak setia menunggu.
“Dek, Ummu sedang berjuang di dalam. Doakan yang terbaik untuk Ummu ya! Kemungkinan selamat kata dokter kecil. Darah keluar tak ada habis-habisnya.”
Tangis mbak Nur semakin menjadi. Dalam pelukan Nadia, dielusnya pundak mbak Nur penuh kasih. Mas Rama yang memandangi dari tadi tak kuasa melihat mbak Nur yang terus menangis. laki-laki itu mendekat memberi motivasi pada mbak Nur.
“Tidak ada yang tidak mungkin, selagi Allah berkehendak Nur.”
“Mas Rama sudah lama di sini?” tanya Nadia.
“Mas baru sampai, ada urusan di kampus yang harus mas selesaikan. Begitu urusan selesai mas langsung kemari.”
Tak lama Nadia berbincang, dokter keluar dari ruangan. Mempersilahkan pak slamet dan mbak Nur masuk ruangan. Sementara mas Rama dan sahabat-sahabat mbak Ummu bertanya banyak hal pada dokter. Seketika tangis pecah di dalam ruangan, suara isak semakin kencang. Tak perlu dokter menjelaskan, sudah jelas apa yang terjadi. Mbak Ummu berpulang, ke istana surga yang indah.
Mbak Nur tak sadarkan diri. Beberapa suster membantu untuk membopong tubuh mbak Nur. Membantu untuk menyadarkan. Nur Aini Ummu Sofia, Nadia tahu persis apa yang dirasakannya, sosok kakak yang pernah berbagi dalam perut ibu dengan sang adik Aisyah Ummu Sofia. Harus rela melepas kepergian belahan hati, sang adik kembali ke pangkuan Illahi.
Semua hati kehilangan, begitu juga Nadia. Dalam tetesan air mata, Nadia masih bisa mengingat perjalanan waktu yang ia habiskan bersama mbak Ummu. Ilmu pengetahuannya tentang agama dibaginya dengan Nadia. Segala kebaikan mbak Ummu masih dirasakan Nadia, begitu juga dengan para sahabatnya.
Tak mungkin bila mbak Ummu tak baik, para sahabat berdatangan untuk mengetahui kabar mbak Ummu. Meski tak ada lagi mbak Ummu, namun kebaikannya masih dapat dirasakan.
****
Tangis mengiringi kepergian orang terkasih. Semua wajah sendu, buliran air mata jatuh membuat merah di setiap sudut mata. Namun hidup memang telah digariskan oleh Sang Maha Hidup. Aisyah Ummu Sofia, dari yang tidak ada, kemudian ada, namun beberapa tahun kemudian ia kembali tak ada.
Para pembaca yang disayangi Allah, hidup ini sejatinya memang untuk beribadah kepadaNya. Sesuai janji kita setiap salat dalam doa Iftitah “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam.” Dan ketika ajal telah memanggil, tak dapat meminta penundaan ataupun percepatan. Dan semua akan dimintai pertanggungjawaban. Berusaha menjadi insan yang lebih baik untuk meraih surgaNya. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.