Oleh: Asa Mulchias
Industri berbasis riba tampil gagah hari ini. Dipoles hingga terlihat modern dan popular. Terus-menerus diiklankan. Siang dan malam.
Lama-lama, tak heran, bila sebagian umat Islam menganggapnya biasa. Boleh. Tak perlu dibesar-besarkan.
Padahal, Islam selalu tegas pada riba. Tidak pernah tidak. Tidak peduli banyak atau sedikit, haram hukumnya.
“Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi” (Q.s. al-Baqarah [2]: 278-279).
“Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah” (H.r. Hakim dan Abu Ya’).
Tapi, apa hikmah di balik pengharaman atas riba?
Dr. Yusuf Qaradawi dalam kitabnya “Halal Haram dalam Islam” menjelaskan bahwa Islam bersikap tegas demi melindungi ke-maslahat-an manusia. Melindungi akhlaknya, ekonomi, dan masyarakat itu sendiri.
Beliau pun mengutip tafsir Imam ar-Razi saat memaparkan hikmah pelarangan riba.
1. Membuat Manusia Malas
Dr. Yusuf Qaradhawi menulis, “Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat.”
2. Merusak Rasa Kemanusiaan
Selain itu, praktik riba mengakibatkan pudarnya sikap baik sesama manusia, salah satunya pinjam-meminjam. Padahal, banyak sekali muslim-muslimah yang tertolong dengan aktivitas ini.
“… kalau riba itu diharamkan,” ucap Dr. Yusuf Qaradhawi, “maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.”
3. Menyuburkan Kesenjangan Sosial
Masih menurut Dr. Yusuf Qaradhawi, riba juga menyuburkan kesenjangan sosial. “Pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.”
4. Menambah Angka Kejahatan
Dalam kitabnya, Dr. Yusuf Qaradhawi menggarisbawahi, “Dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l’home par l’hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin.”
Tak diragukan lagi, riba dapat membuat kelas-kelas di masyarakat semakin nyata. Akibatnya, timbul golongan yang dengki, sakit hati, yang bukan tak mungkin berujung pada peningkatan tindak kriminalitas. Kalau sudah begini, masihkah kita berpihak pada riba? []