Oleh: H. Atik Fikri Ilyas, Lc, MA
Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo & Universitas Amer Abdel Kader Aljazair, mahasiswa program Doktoral Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut?
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah yang ia menjadi tidak punya harta dan benda.”
Nabi Saw lalu berkata, ” Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci-maki orang ini, menuduh orang itu berbuat zina, ia pernah memakan harta orang ini, membunuh orang ini, memukul (menzalimi) ini, maka dia menanti orang ini (yang dizalimi) menuntut dan mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya.
Bila pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas dosa-dosanya maka dosa orang-orang yang menuntut itu ditimpakan kepadanya, lalu dia dihempaskan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Subhanallah, Maha Adil dan Maha Bijaksana Allah swt, segala perbuatan manusia ada perhitungannya. Hadits ini menegaskan bahwa pengadilan akhirat sangat teliti dan seksama. Pengadilan yang tidak hanya memutuskan perkara dosa yang berhubungan dengan Allah, tapi yang berhubungan dengan sesama manusia. Karena itu dalam Islam ibadah terbagi menjadi hablun min Allah (ibadah yang erat kaitan dengan Allah) dan hablun minan nas (ibadah sosial), vertikal dan horizontal. Dalam makna, akhlak menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam dan aplikasi Iman.
Al-Muflis, bangkrut, pailit dalam pandangan Nabi saw adalah orang yang sejatinya kaya pahala, tapi jatuh menjadi miskin pahala, bahkan jadi plus bergelimang dosa karena kezaliman terhadap sesama yang belum terselesaikan. Kalimat ini sejatinya menyindir manusia, bahkan para sahabat yang akrab memahami kebangkrutan dari nilai materi duniawi.
Benar, tidak sedikit kaum muslimin yang hanya memikirkan tetap kaya, tetap sejahtera, tetap eksis jabatan, tetap digjaya secara materi keduniaan, bahkan meskipun harus menzalimi sesamanya. Sebaliknya, acuh, tidak pandai memikirkan bagaimana kepailitan di akhirat. Saat menzalimi sesama yang dipikirkan hanya pengadilan di dunia, bila tak ada yang lihat, bebas dari hukuman dunia dianggap selesai. Padahal pengadilan akhirat pasti menanti.
Nabi saw mengajarkan bahwa harta akhirat (pahala) lebih penting dipikirkan. Bukan anti dunia tentunya, tapi bagaimana seorang mukmin sejati dalam menjalani hidup orientasi akhirat. Dalam berhubungan dengan sesama manusia bukan hanya memikirkan positif-negatif dunia tapi keuntungan-kerugian di akhirat, ujungnya neraka atau surga.
Membawa pahala ke akhirat, banyak beribadah di dunia, aktif melakukan shalat, puasa, zakat dan amalan lain (hablun min Allah), tapi tidak cakap, berantakan dalam berhubungan sesama manusia (hablun minan-nas) maka sejatinya bukan kategori orang shaleh sejati. Bahkan dapat menjadikan pelakunya berantakan di akhirat kelak, pahala hilang dosa bertambah dan ujungnya neraka. Karena itu ketika Nabi saw ditanya, “Muslim yang bagaimanakah yang paling utama?” Nabi saw menjawab, “Muslim yang menjaga untuk tidak menyakit sesamanya baik dengan lisan maupun tangannya.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu betapa indahnya bila kita hidup tanpa mezalimi sesama kita, di antaranya sebagai upaya menjauhkan diri dari kepailitan, kebangkrutan di akhirat kelak. Luar bisa bila dalam berinteraksi dengan sesama kita, bukan hanya implikasi duniawi yang kita pikirkan, tapi akibat di akhirat kelak. Wallahu’alam. []