Oleh: Abu Saif Kuncoro Jati
HEBOHNYA berita seorang menantu yang menggugat ibu mertuanya hingga hampir senilai 1 milyar Rupiah dikarenakan kasus jual beli tanah yang dilakukan sang menantu dengan bapak mertuanya banyak menyebabkan orang mencela sang menantu (utamanya si anak kandung yang dianggap durhaka pada ibunya).
Secara pribadi, ketika kronologi kasus mengemuka saya tidak berani berkomentar. Muncul tanda tanya dari saya, apakah jual beli tidak tunai yang dilakukan antara si menantu dengan bapak mertua itu tidak dicatat? Dan apakah jika si bapak mertua itu sudah membayar lunas, tidak ada pencatatan tanda terima pembayaran?
Tentu saja kasus ini mengingatkan saya akan sebuah ayat favorit mahasiswa STAN, ayat paling panjang dalam Al Quran.
Allah berfirman dalam ayat 282, Surah Al Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Al Maududi dalam Tafhim Al Quran menjelaskan bahwa, “Ini adalah dasar dari aturan bahwa waktu untuk pembayaran kembali dalam pinjaman harus ditentukan pada saat pinjaman ditransaksikan.”
Ia melanjutkan, “Ketika teman dan kerabat saling meminjam satu sama lainnya, umumnya dianggap tidak pantas transaksi pinjaman ini untuk mereka catat, atau transaksi mereka itu dipersaksikan oleh saksi. Tindakan semacam itu dianggap sebagai tanda ketidakpercayaan. Tetapi Allah memerintahkan bahwa setiap kali pinjaman atau transaksi bisnis berlangsung, transaksi mereka harus dicatat hitam di atas putih dan harus dibuktikan oleh saksi sehingga berkekuatan tetap, dan tidak ada dasar untuk kesalahpahaman atau sengketa. Hal ini disebutkan dalam hadis bahwa tiga jenis orang yang menyampaikan keluhan mereka kepada Allah, tapi diabaikan.
1. Yang pertama adalah orang yang tidak menceraikan istrinya meskipun memuliki karakter buruk.
2. Yang kedua adalah wali dari anak yatim yang menyerahkan harta yang terakhir kepadanya sebelum dia telah mencapai usia dewasa.
3. Yang ketiga adalah dia yang meminjamkan uang kepada seseorang tanpa mencari saksi untuk transaksi tersebut.
(Dikutip oleh Al Jashash dalam Ahkam al-Qur’an, jil 1, hal 481, juga Ibnu Katsir, dalam tafsirnya jilid 4 hal. 5, mengutip ini sebagai Tradisi dari Abu Musa al-Asy’ari seperti disebutkan Ibnu Jarir Ath Thabari).
Allah juga berfirman, “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.”
Masih dalam rangkaian ayat tersebut, “Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Al Maududi menerangkan, “Artinya, dari kalangan laki-laki Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa di mana pun memiliki pilihan, kita harus menunjuk hanya Muslim sebagai saksi seseorang. Dalam kasus pelakunya adalah non-Muslim dari Negara Islam (Ahludz Dzimmah), mereka dapat menunjuk saksi dari kalangan mereka sendiri. Dan apa yang tersirat adalah bahwa ada orang tidak layak bertindak sebagai saksi. Sebaliknya, orang-orang yang berintegritas tinggi dan memiliki kredibilitas publik harus ditunjuk sebagai saksi.”
Al Quran juga menerangkan “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.”
“Tujuan dari perintah ini adalah untuk menekankan bahwa lebih baik, bahkan untuk penjualan sehari-hari untuk dituliskan, sebagaimana telah menjadi kebiasaan saat ini (contohnya penerbitan faktur). Prosedur tersebut, bagaimanapun, belum diwajibkan. Demikian juga, tidak keberatan jika pemilik toko dan tetangga tidak mencatat transaksi yang sering terjadi di antara mereka. Ini berarti bahwa tidak ada orang boleh dipaksa untuk menulis dokumen atau menjadi saksi nya. Ini juga berarti bahwa tidak boleh pihak yang bersengketa bisa menganiaya penulis atau saksi untuk memberikan kesaksian yang bertentangan dengan kepentingan pihak tersebut,” terang Al Maududi.
Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan perintah, “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Jika halnya sudah demikian, apakah Anda masih ragu untuk mencatat transaksi non tunai dengan teman atau keluarga Anda? []