BUKAN rutinitas mingguan, namun pada hari libur tertentu Ika akan menghabiskan waktu dengan jalan-jalan. Kemana saja dan selama ada yang menjadi teman seperjalanan. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru tiba di rumah, mendapati ibunya yang duduk termenung menatap pintu.
“Ibu menunggu aku? Maaf, tadi selepas dari pantai singgah dulu ke rumah Dea.”
“Mau sampai kapan kamu begini terus? Menghabiskan waktu di luaran.”
Ruangan yang berfungsi sebagai tempat istirahat itu diisi oleh dua penghuni. Ia dan kakaknya, Putri.
Wanita dengan usia terpaut lima tahun di atasnya itu sedang asyik membaca. Ia memang berbeda dengan sang kakak soal menikmati kekosongan waktu.
“Sudah pulang? Tumben wajahnya kusut, biasanya selalu ceria.”
“Ibu,” jawabnya singkat.
“Ibu ngomong apa sama kamu? Menanyakan kapan lagi? Jika iya, berarti sama.”
“Entahlah. Aku tak mau lagi dipusingkan soal itu. Aku sudah menuruti kemauannya.”
Kamar menjadi hening. Keduanya saling diam. Ika membiarkan pikirannya kosong, sedang Putri seolah tampak tenggelam di lautan bacaan padahal tempurung kepalanya sedang dijejali pertanyaan yang jawabnya sebuah misteri.
Bisa jadi keadaan tidak akan seperti sekarang jika saja dulu ibu merestui Ivov sebagai suami Ika. Tepatnya bila wanita yang melahirkan mereka tidak menuntut pemenuhan sebuah tradisi.
Ivov, lelaki bersahaja yang punya keinginan menyunting Ika dua tahun lalu. Pemuda yang baru menyelesaikan kuliah dan merintis karier sebagai guru swasta. Memiliki tanggungan dua orang adik masih sekolah.
“Kalau Ivov mau menikahi kamu, dia harus bersedia memberikan kalung sebagai pelangkahan untuk Putri.”
Wanita yang melahirkan kedua gadis itu memberikan penegasan pada saat Ika menyampaikan maksud kekasihnya.
“Tidak perlu meminta itu, Bu. Tidak ada hubungan cepat atau lambatnya aku menikah nanti dengan pelangkahan itu,” ujar Putri untuk meluluhkan hati sang ibu.
“Tidak bisa! Jodohmu akan ketutup bila tidak mendapat pelangkahan,” tegasnya mengakhiri perdebatan.
Putri memahami kondisi keuangan calon adik iparnya itu. Merasa tidak enak hati jika harus menuruti perintah ibu, sekalipun hatinya tetap menolak tradisi yang dijunjung tinggi oleh keluarga mereka.
Mitos yang berkembang di masyarakat menguat, seakan sebuah musibah bila ada seorang adik mendahului kakaknya menikah. Untuk menghindari akibat buruk dari keputusan itu, tanpa kesepakatan tertulis mereka meminta seserahan sebagai pelangkahan berupa uang atau perhiasan. Seserahan yang dianggap sebagai restu menikah untuk sang adik, serta penangkal dari sulitnya bertemu jodoh bagi yang dilangkahi.
Keluarga Ivov terpaksa menelan kekecewaan di hari marisik*. Tidak adanya kesepakatan yang terjadi di antara dua keluarga. Bahkan keluarga Ika menunda rencana pernikahan. Kakak beradik yang mendengar keputusan itu tak bisa menghindari perasaan serupa.
“Bila permintaan kami tidak bisa dipenuhi, baiknya pernikahan ditunda saja. Kami juga tidak mengikat Ivov dengan ketentuan harus menikah dengan Ika, bila ada perempuan lain yang mau menerima kamu apa adanya ya silakan. Begitupun Ika, jika memang tetap harus melangkahi Putri, lelaki tersebut harus bersedia menyiapkan pelangkahan.”
Panjang lebar tetua adat yang diunjuk keluarga menjelaskan pada pihak calon besan, tidak jadi lebih tepat. Entah apa alasan mereka memegang teguh tradisi yang sudah jelas dalam syariat agama tidak ada. Bahkan agama menyuruh untuk menyegerakan sesuatu yang baik.
Selang beberapa bulan setelah pertemuan pahit itu, Ivov membuktikan menikah dengan orang lain yang mau menerimanya. Seorang wanita dari rekan kerjanya sendiri. Sejak saat itu pula Ika seolah menutup hati. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan luar rumah. Bila tidak ada pengajian, ia lebih memilih untuk menikmati alam.
Ika sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Putri kembali teringat pada sang ibu. Mungkin kelelahan hati wanita mulia itu sama dengan ia dan adiknya. Bedanya, ibu masih bersikukuh dengan prinsip yang dianut, dan sang adik sudah lebih pasrah. Sedang, dirinya sendiri tidak mampu melakukan perubahan.
Ia membawa diri keluar kamar. Dari jarak beberapa meter matanya masih menangkap sang ibu yang menatap pintu. Termenung.
“Tidurlah, Bu. Nanti bisa sakit kena angin malam,” sapanya lembut.
Ia berpura-pura mengecek jendela yang sebenarnya tadi sore dialah yang mengunci. Harap-harap cemas menanti respon dari kalimatnya barusan.
“Ibu kangen.”
Suara itu berat. Terasa sekali ungkapan penuh kerinduan.
“Rindu siapa, Bu? Kakek atau keluarga paman?”
Ia menyebutkan dua keluarga yang terpisah jarak yang lumayan jauh dari mereka.
“Ibu rindu rumah ini didatangi tamu rombongan keluarga yang akan melamar kalian. Besok lusa, bila ada lelaki baik yang datang akan ibu restui. Siapa yang lebih dulu menikah tidak masalah.”
Mata mereka saling tatap. Bendungan air yang menggantung di sudut mata keduanya siap menerjang pipi masing-masing. Putri bersyukur karena ibunya sudah menyadari.
“Doakan kami ya, Bu. Allah pasti mengirimkan menantu terbaik untuk ibu.”
Putri lega, namun belum memastikan apakah di sekitarnya, akan ada gadis yang bernasib sama atau tidak. Harapannya, semua pihak menyadari bila jodoh seseorang punya jalannya sendiri. []
*Marisik: temu keluarga dalam rangka menanyakan kesiapan pihak perempuan untuk masuk ke tahap yang lebih serius.Â
Asahan, 20062016