JAKARTA— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebetulnya telah menetapkan status tersangka kepada Ketua DPR RI Setya Novanto pada Selasa (31/10/2017) pekan lalu. Namun pengumumannya baru dilakukan, Jumat (10/11/2017) kemarin.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengungkapkan alasan penundaan tersebut. Menurut Febri, tidak langsung diumumkannya status tersangka itu lantaran masih adanya kebutuhan penyidikan saat penetapan tersangka Ketua DPR RI Setya Novanto pada Selasa (31/10) pekan lalu.
“Pengumuman ini sama seperti kasus yang lain sebagai bentuk pertanggungjawaban KPK kepada publik. (Terkait) kapan diumumkannya tentu dikoordinasikan sesuai kebutuhan penyidikan,” kata Febri, Jumat (10/11).
KPK mengumumkan penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut pun sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar.
Mangkirnya Novanto, tak membuat penyidik putus asa dan terusmelakukan proses pemeriksaan terhadap beberapa saksi dengan unsur anggota DPR, swasta dan para pejabat Kemendagri.
Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, melakukan gelar perkara pada (28/10) dan mengeluarkan SPDP penyidikan baru kasus KTP-el pada (31/10). Dalam SPDP tersebut pun terdapatSprindik dengan nomor 113/01//10/2017 dengan tersangka Setya Novanto.
Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK juga telah mengantar surat perihal SPDP dan diantar ke rumah SN di Jalan Wijaya Kebayoran Baru.
KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[]