JAKARTA—Ketua DPR Ri Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di gedung KPK, Jakarta, pada Jumat (10/11/2017), mengungkapkan bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama Setya Novanto telah diterbitkan pada Selasa (31/10/2017) lalu.
“Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK telah mengantar surat pada Jumat (3/11/2017) perihal SPDP. Diantar ke rumah SN di kawasan Wijaya, Kebayoran Baru, pada sore hari,” ujar Saut seperti dikutip dari Republika, Sabtu (11/11/2017) .
Penetapan tersangka terhadap Novanto dilakukan setelah pimpinan dan penyidik mempelajari secara seksama putusan praperadilan yang telah diputus hakim tunggal Ceppy Iskandar pada (29/9/2017) lalu, serta aturan-aturan hukum lainnya. Sebagaimana putusan Ceppy, status tersangka yang disandang Novanto pun gugur ketika itu.
Sehingga, menurut Saut, KPK melakukan penyelidikan baru awal Oktober 2017 untuk pengembangan perkara e-KTP melalui serangkaian proses dengan meminta keterangan sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti yang relevan.
Novanto sendiri sudah dua kali dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus, yakni pada Jumat (13/10/2017) dan Rabu (18/10/2017). Namun, Setya Novanto tidak hadir dengan dalih sedang dalam tugas kedinasan.
Penyidik, lanjut Saut, juga telah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi lainnya pada tahap penyidikan. Dimulai dari unsur anggota DPR RI, swasta, hingga pejabat Kemendagri.
Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, pimpinan dan penyelidik melakukan gelar perkara pada Sabtu (28/10/2017). Tiga hari berselang, SPDP pun diterbitkan.
“SN disangka melangar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1,” ungkap Saut.
Novanto yang pada saat proyek e-KTP dilangsungkan menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, Andi, dan dua pejabat Kemendagri, yaitu Irman dan Sugiharto, yang diduga menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan. Akibat korupsi e-KTP tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun. []