JAKARTA— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan untuk Ketua DPR RI Setya Novanto pada Senin (13/11/2017) kemarin.
Ini adalah panggilan ketiga terhadap Novanto untuk pemeriksaan saksi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik, Anang Sugiana Sudiharja.
“Pagi ini KPK menerima surat terkait dengan ketidakhadiran Setya Novanto sebagai saksi untuk tersangka ASS,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, seperti dikutip dari Republika, pada Senin (13/11/2017).
Menurut Febri surat yang diterima KPK merupakan surat dengan kop DPR RI dan ditandatangani oleh Ketua DPR RI. Dalam surat tersebut juga disampaikan alasan ketidakhadiran karena hak imunitas anggota DPR.
KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut pun sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar.
Dalam tahap penyelidikan, KPK sudah mengirimkan permintaan keterangan saksi terhadap Novanto sebanyak dua kali yakni pada (13/10) dan (18/10), namun yang bersangkutan tidak hadir lantaran sedang dalam tugas kedinasan.
Mangkirnya Novanto, tak membuat penyidik putus asa dan terus melakukan proses pemeriksaan terhadap beberapa saksi dengan unsur anggota DPR, swasta dan para pejabat Kemendagri.
Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, melakukan gelar perkara dan mengeluarkan SPDP penyidikan baru kasus KTP-el.
Dalam SPDP tersebut pun terdapat Sprindik dengan nomor 113/01//10/2017. Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK juga telah mengantar surat pada (3/11) perihal SPDP dan diantar ke rumah SN di Jalan Wijaya Kebayoran Baru.
KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[]