Oleh: Soni Ariawan
Pembaca setia Islampos.com, ariawansoni@gmail.com
“Belum lagi kedua kaki seorang hamba bergerak pada hari kiamat, ditanyalah tentang usianya, dihabiskan untuk apa; tentang ilmunya, digunakan untuk mengerjakan apa; tentang hartanya, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa; tentang badannya, digerakkan untuk apa.”
(HR Tirmidzi).
Pagi tadi, saya diingatkan oleh seorang kenalan yang tinggal di salah satu state di Australia. Beliau adalah seorang kakek berusia sekitar 60-an tahun. Usianya memang terpaut jauh dari saya, tetapi caranya berinteraksi membuat pergaulan setara, suasana cenderung cair dan bisa mengikuti kami yang lebih muda. Artinya, beliau adalah orang yang mampu beradaptasi dengan siapapun teman pergaulannya, lintas usia.
Obrolan pagi di sebuah grup media sosial tempat kami bergabung biasanya dimulai dengan share wawasan tentang Islam, berita terkini tentang dunia Islam dan Islam di dunia, serta diskusi lain yang menjadi asupan gizi hati dan kepala sebelum memulai aktivitas di luar rumah. Dan kenalan yang satu ini, seringkali mengambil porsi yang lebih banyak manakala menceritakan pengalamannya. Maklum, beliau sudah tinggal puluhan tahun di Australia sejak menempuh S2. Jadi, pengalaman yang diceritakan kepada kami seperti tidak ada habis-habisnya.
Ada saja hal menarik dari pengalaman tersebut. Pastinya, kami menyimak chat obrolan dengan khusuk, karena tidak jarang pengalaman yang diceritakan sangat relevan dengan apa yang kami alami sehari-hari.
Pagi tadi, ada satu kalimat yang saya garis bawahi dari sharing pengalamannya. “Ternyata saya sudah tua”. Kalimat ini bahkan menjadi pembuka obrolan. Beliau mengelaborasi kalimat utamanya itu dengan membeberkan beberapa gejala atau kejadian yang dialami sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal kami secara “sepintas” melihat beliau sebagai sosok yang semangat, optimis dan cenderung menghindari kosakata “tua” yang menurutnya itu tidak penting karena jauh lebih penting adalah “jiwanya”. Boleh tua, tetapi jiwa harus tetap semangat seperti anak muda.
Prinsip ini yang kemudian membuat saya pribadi berdecak kagum. Bagaimana tidak, di usianya yang sekarang, beliau masih saja menyibukkan diri untuk belajar agama Islam. Masih senang membaca berita dan mengikuti perkembangan Islam. Bahkan tidak jarang beliau katanya harus menempuh jarak puluhan kilometer dari tempat tinggalnya menuju pengajian-pengajian. Sebuah usaha yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja bagi orang seusia beliau. Ini adalah hal yang luar biasa. Lalu, apa makna kalimat “ternyata saya sudah tua” bagi kita, khususnya saya pribadi?
Saya melihatnya sebagai sebuah alarm. Menjadi tua itu sebuah kepastian. Yang belum pasti adalah apakah kita semakin tua semakin berkualitas? Semakin menginjak usia kepala tiga, empat, lima, enam dan seterusnya, apakah kita semakin serius dalam beribadah mempersiapkan bekal menuju kehidupan berikutnya? Apakah kita semakin matang dan mantap dalam beragama? Sudah sejauh mana manfaat kita untuk orang lain? Sudahkah kita tunaikan amanah Allah untuk mendidik anak-anak kita?
Jika iya, maka seharusnya seperti itulah hidup ini agar berakhir dengan happy ending. Namun, jika tidak, siapkah kita dengan laporan pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT akan semua amanah dan kewajibab yang kita emban? Bagaimana kalau seandainya Allah mempertanyakan usia, ilmu, harta dan jasad ini digunakan untuk apa saja? Selain bingung, barangkali kita malu untuk memberikan laporannya.
Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat dan sebelum semuanya menua, persiapkanlah bekal yang cukup. Begitulah pesan akhir yang disampaikan kenalan saya ini. Beliau sendiri adalah contoh yang sempurna bagaimana usia sekarang ini dimanfaatkan dengan sangat baik. Tidak satu detikpun ingin dilewatkan, melainkan bernilai kebaikan.
Usia adalah rahasia. Bahagia atau berduka menjadi akhir dari cerita kita di dunia juga adalah rahasia. Tetapi Tuhan memberikan kita sebuah kepastian. Adalah ketika kita berusaha menebar kebaikan, menunaikan kewajiban, menuntaskan amanah, maka sudah pasti akan berakhir dengan kebahagiaan.
Jika sebaliknya, maka sudah pasti Dia akan memberikan ganjaran yang setara dengan perbuatan di dunia. Maka pilihlah hidup yang “pasti-pasti” saja. Semua kepastian itu Allah sudah jelaskan dalam Alquran dan mengirim Rasulullah sebagai teladan. Semoga hidup ini semakin menua, semakin berkualitas. Tua-tua keladi, semakin tua, semakin paham hidup yang hakiki. Wallahu a’lam. []
Adelaide, 13/11/2017