Oleh: Ernydar Irfan
DIA berdiam seorang diri menatap hamparan sawah sambil termenung. Sementara teman-teman lainnya asyik bercengkrama di kamar asrama.
Aku lihat dia melihatku, duduk di atas tikar yang kami gelar karena kebetulan tidak kebagian saung dan dia berjalan menghampiri.
“Ibu Altaf, mamaku belum ke sini. Padahal janjinya hari ini ke sini,” katanya dengan wajah murung.
“Oh… mau telefon mama nanya jam berapa berangkat ke sini, shalih?” tanyaku.
Ia mengangguk dan wajahnya jadi sumringah.
Kupinjamkan HP, dan dia bercakap di depanku.
“Mama jadi ke sini jam berapa?” tanyanya.
Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya berkaca-kaca.
“Oh …. iya…. iya udah gak apa-apa… tapi nanti Mama jenguk aku yaa? Kapan, Ma?”
Wajahnya terlihat semakin kecewa dan air matanya mulai jatuh. Diserahkan HP yang masih tersambung.
“Halo… assalamualaikum… Mama… gimana?” tanyaku.
“Iya, Bu… Tolong kasih pengertian anak saya yaa… Saya gak bisa jenguk. Sebenernya sih kita emang gak mau sering jenguk, karena kita gak mau dia terlalu manja. Dia bulak-balik minta izin pulang, cuma takutnya kalau dibawa pulang dia gak mau balik lagi ke pondok. Biarin ajalah nangis-nangis dia sekarang, kasih kepercayaan aja sama pondok, nanti juga lama-lama biasa,” kata sang bunda di ujung telefon sana.
Keningku mengernyit mendengar ucapan sang bunda. “Gak dijengukin aja Bu, kasih pengertian anaknya? Kasihan Bu, anaknya sedih,” kucoba melobby hatinya.
“Enggak lah Bu, biarin aja. Nanti juga lama-lama biasa,” suaranya terdengar yakin di ujung telefon .
“Baiklah…”
Bukankah setiap orang tua memiliki hak memilih cara mendidik anak-anaknya?
Kututup telefon. Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
Kutatap mata berurai air mata tanpa isak, hanya ditemani tatapan kosong entah memandang apa.
“Mama belum bisa ke sini, Nak… Nanti kalau mama gak repot, mamamu nanti ke sini. Sementara ini biarkan ibu Altaf jadi mama buatmu ya… boleh?” tanyaku.
Dia mengangguk lemah. Air matanya semakin banjir. Kali ini pundaknya hingga terguncang-guncang menahan isak. Sesak rasanya dada ini melihatnya. Tapi kutahan dan tak kuizinkan air mata ini jatuh.
“Yaa sudah… keluarin aja sedihnya sampai puas… boleh kok nangis… boleh,” kataku. Kubiarkan dia menangis.
“Aku kayak dibuang, ibu Altaf . Orang lain ditelefon, ditengok, diajak pulang, aku enggak. Aku sedih, gak ada tempat ngadu, gak ada tempat cerita, aku sendirian,” ucapnya di tengah isak.
“Iyaa… sekarang yang nengok ibu Altaf , nanti jadwal telefon yang nelefon ibu Altaf ya, Nak.. kamu boleh cerita, boleh ngadu, sama ibu Altaf ,” kataku menenangkan.
Dia menangguk. Perlahan tangis dan isaknya mereda.
Dia bercerita bagaimana dia merasa tertekan atas sikap teman-teman sekelasnya, merasa terintimidasi dengan sikap teman sekamarnya. Ia sedang merasa sedih karena merasa diperlakukan tidak adil. Aku hanya mendengarkan hingga ia selesai bercerita lalu memberi sedikit nasihat. Ia semakin terlihat tenang.
“Makanan kesenanganmu apa?” tanyaku.
“Sop Iga,” jawabnya.
“Ya udah nanti minggu depan Insya Allah Ibu masakin yaa…”
“Ibu Altaf bisa masak sop iga?” tanyanya.
“Insya Allah bisa… Ibu Altaf bisa masak apa aja, cuma enak apa enggaknya enggak tau, yang penting mateng dan gak beracun…” kataku.
Dia tersenyum. “Ibu Altaf …. Ibu pulang jam berapa?”
“Ibu belum tahu. Kenapa?”
“Aku pingin ditungguin sampai pulang pramuka….”
“Oh gitu…….. In sya Allah… kalau pulang pramukanya gak kesorean masih ketemu Ibu, tapi kalau kesorean Ibu nanti kemalaman sampai rumah yaa… tapi insya Allah ibu nanti minggu depan datang lagi tengokin kamu.”
Wajahnya jadi sumringah.
“Udah sana berangkat udah bel…. semangat yaa, Nak.”
Dia tersenyum dan kembali bersemangat.
Melihatnya berlari-lari kecil membuatku terharu. Sesederhana itu saja sebenarnya menyenangkan hatimu.
Bagiku, intensitas kita berlomunikasi dan menjenguk anak-anak bukan soal percaya tidak percaya pada pihak pondok. Tapi soal kewajiban orang tua memenuhi hak psikologis anak yang masih jadi kewajiban orang tua.
Anak laki-laki usia 12-13 tahun belum usia baligh dimana dalam Islam dianjurkan untuk dekat dengan orang tuanya.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” .“Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut sebenarnya membicarakan tentang pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut.
Namun hadits itu juga mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan berbagai media yang mengacam aqidah, itu sebabnya untuk mengurangi mudharat para orang tua banyak memilih memasukkan anaknya ke dalam pesantren agar tertanam erat aqidahnya, tapi bukan berarti boleh melepaskan begitu saja hak anaknya untuk dekat dengan orang tua.
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Maka untuk mengakomodasi kewajiban orang tua menanamkan aqidah anak dan melindungi dari lingkungan yang berpotensi merusak ahlak, sebelum usianya baligh beberapa orang tua yang memiliki dasar pemahaman sesuai hadits ini akan menjaga kualitas komunikasi dan kedekatan dengan anak.
Banyak orang tua berpikir “… aah lama-lama juga biasa…lama-lama juga betah”, tanpa mempertimbangkan hak psikologis dan batin anak. Menjadi betah di pondok karena sekadar terbiasa akan berbeda hasilnya dengan menjadi betah, karena merasa pondok tak ubahnya rumah yang tetap terisi aroma kasih sayang orang tua karena proses adaptasi bertahap dengan pendampingan orang tua.
Pondok yang paling cocok dengan anak-anak di usia dini bukanlah pondok yang walaupun jauh dengan memiliki guru yang hebat dan fasilitas yang mantap, tapi pondok yang dekat dan tidak menjauhkan anak anak baik dari segi jarak maupun mental. Ini agar chemistry kedekatan anak dan orang tua tetap terjaga.
Berapa banyak anak yang lulus pondok kualitas akhlak dan aqidahnya lebih buruk daripada yang tidak mondok?
Berapa banyak orang yang tahidz Alquran namun gagal mengimplementasikan makna Alquran sesungguhnya?
Berapa banyak anak yang lulus dari pondok kehilangan kelembutan cinta karena merasa kurang dicintai?
Berapa banyak anak yang justru hambar hubungannya dengan orang tua dan menjalankan kewajibannya pada orang tua hanya sekedar kewajiban tanpa cinta.
Walau bagaimanapun semua tergantung anaknya dan orang tuanya. Karena ustad atau ustadzah hanyalah fasilitator dan fasilitas hanyalah pendukung. Sedang dasar akhlak dan aqidah anak anak tetaplah kewajiban kita sebagai orang tua karena kita yang akan dihisab soal itu, bukan ustad atau ustadzahnya.
Banyak orang tua mampu menjadikan anak-anak yang shalih, tapi tidak semua anak shalih ingat untuk selalu ingat mendoakan orang tuanya saat ada, apalagi setelah tiada. Karena antara ada dan tiada orang tua, mereka biasa merasa orang tuanya tidak ada di masa-masa ia membutuhkannya.
Semoga kita bisa jadi orang tua yang dirindukan surga karena doa anak-anak shalih kita. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.