BERUNTUNGLAH seorang istri yang memiliki kelebihan harta. Entah itu dari warisan ataupun dari profesi yang ia geluti untuk membantu suaminya yang berada dalam kondisi serba kekurangan sehingga ia bisa memberikan kelapangan dan kecukupan hidup kepada keluarganya.
Istri semacam ini akan lebih dermawan lagi saat suami nya tidak bisa memiliki pekerjaan. Sebab, dengan begitu, sang istri memperoleh dua keutamaan sekaligus dalam Islam: keutamaan menjalin silaturahim dan keutamaan berinfak di jalan Allah SWT (hadis mut ta faqun ‘alaih).
Akan tetapi, pada zaman sekarang ini, tidak sedikit para istri juga ikut mengambil peran dalam tanggung jawab mencari naf kah tersebut. Banyak kita temukan suami dan istri sama-sama bekerja atau berkarier di luar rumah, mencari penghasilan untuk me menuhi kebutuhan rumah tangga me reka. Bahkan, dalam beberapa kasus, tidak jarang penda patan istri justru lebih besar dari sang suami. Bagaimana Islam menyi kapi hal semacam itu?
Mencari nafkah adalah bagian dari tanggung jawab seorang suami selaku kepala keluarga. Itu seperti difirmankan Allah SWT dalam kitab-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” (QS an-Nisa [4]: 34).
Dalam satu riwayat dari Said al-Khudri RA disebutkan, Zainab istri dari Ibnu Mas’ud RA pernah datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata, “Ya Nabi Allah, hari ini engkau menyuruh kami untuk bersedekah. Kebetulan aku punya perhiasan. Aku ingin menyedekahkan perhiasan ini, tapi (suamiku) Ibnu Mas’ud meng klaim bahwa dia dan anak-anaknya lebih berhak menerima sede kah dariku.” Rasulullah SAW lalu ber sabda, “Benar apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud. Suamimu dan anakmu lebih berhak mendapatkan sedekahmu itu,” (HR al-Bukhari).
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari pada juz 4 ha laman 72 menuliskan, Zainab di isya ratkan pernah bersedekah dari hasil usahanya. Seperti yang diriwa yat kan Thahawi dengan la faz, “Zainab adalah pemilik ta ngan yang suka bekerja (yakni pintar dalam membuat usaha).
Pada era sekarang, tidak ja rang suami menikahi istri yang berstatus karyawati agar keduanya bisa saling membantu da lam pembentukan rumah tangga Mus lim. Itu juga karena sang suami tidak bisa sen dirian menafkahi keluarganya. Demi kian pula de ngan istrinya, tidak bisa sen dirian dalam menanggung beban tersebut. Kedua nya sepakat sejak awal untuk mengatur urusan tertentu dalam rumah tangganya.
Ulama dari al-Azhar Kairo Me sir, Abul Ha med Rabbi, dalam bukunya, Bait al- Muslim al-Qud wah berpendapat, dalam kondisi suami dan istri sama-sama be kerja, istri berhak mendapat dua pertiga atas joint income (penghasilan gabungan) me reka. “Se dang kan, suami me miliki hak atas sepertiganya sa ja,” ungkap dia.
Dr Yusuf al-Qaradhawi per nah ditanya ten tang hak seorang sua mi atas gaji yang diperoleh istri dari pekerjaannya sebagai karyawati. Ulama besar yang juga berasal dari Mesir itu menjawab, “Sebetulnya suamilah yang bertanggung jawab menafkahi keluarganya, walaupun istrinya se orang yang kaya raya dan berstatus jutawan.” Dengan begitu, istri yang memiliki kecukupan harta dari gajinya sebagai karyawati, tetap tidak akan mengurangi tang gung jawab sang suami se bagai pemberi nafkah dan kepala keluarga.
Dalam satu hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah SAW bersabda, “…Pa ra istri memiliki hak atas kalian (para suami) untuk dipenuhi rezeki nya dan kebutuhan sandangnya dengan cara yang makruf,” (HR Muslim).
Sebagian mazhab berpendapat, apabila seorang suami lemah secara ekonomi (atau tidak memiliki pekerjaan yang layak), se dang kan istrinya kaya raya, maka istrinya harus menafkahi suami nya karena itu termasuk kategori hak-hak yang timbabalik. Ada pun dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini adalah firman Allah SWT, “Dan mereka (para perempuan) mempunyai yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf…,” (QS al-Baqarah [2]: 228).
“Kecuali istri secara khusus, naf kahnya (dengan segala bentuk nya) berada dalam tanggung jawab suaminya, meskipun ia pribadi sudah berkecukupan.” []
Sumber:Khazanah Republika