MANUSIA adalah makhluk yang lalai. Tak hanya lalai untuk mengerjakan amal ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia kerap menganggap remeh dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah di dunia ataupun di akhirat.
Sebagai orang beriman kita harus sadar bahwa ketika hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa. Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah sarana yang lengkap dan cukup, lantas melanggar larangan-Nya?
Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:
1.Menganggap remeh suatu dosa. Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308)
2.Dosa yang dilakukan secara rutin. Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah).”
3.Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat. Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.
4.Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab. Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.
5.Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya. Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang.
Nabi bersabda: “Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah)
Ibnu Baththal mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)
Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”
Oleh karena itu, Allah berfirman: “Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (QS. At-Taubah: 67)
6.Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim (berilmu) yang menjadi panutan. (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin hal. 29-32 karya Muhammad Jamil Zainu). []
Sumber: http://www.atsar.id/2016/02/jangan-meremehkan-dosa-maksiat.html