KETIKA itu mentari bersinar sangat malu, hendak beranjak ke peraduannya. Seorang lelaki setengah tua, datang ke rumah, menanyakan suamiku. Tapi karena aku tak mengenalnya, lantas kutanya siapa gerangan beliau.
Dengan logat bahasa Sunda orang lembur yang kental, sedikit tinggi nada bicaranya menghardikku. “Masa sama saudara sendiri tak kaukenal?” ujarnya.
Seketika itu aku meminta maaf karena aku betul betul lupa dan hampir tak mengenalinya. Ternyata ia adalah saudara dari bapak mertuaku. Dan karena kami jarang sekali bertemu, maka dia pun memafhuminya.
Dia datang dengan tujuan ingin memberitahukan bahwa cucunya hendak menikah minggu depan. Hanya berbekalkan satu buah undangan, belum bertuliskan nama untuk siapa undangan tersebut.
Ketika itu suami tidak berada di rumah, dia hanya menitipkan satu helai undangan untuk suami dan mertuaku, dan saudara-saudara yang kebetulan “takutnya” dia lupa belum diundang.
Dan satu hal yang membuatku sangat menghormatinya, dia mendoakan kami dengan segala kebaikan doa. Layaknya orangtua pada anaknya. Dia sangat bersyukur dengan keadaan kami sekarang. Ada peningkatan dalam hidup, selorohnya.
Dan ketika pamit hendak pulang, dia berkelakar sambil menunjuk pada sebuah mobil sederhana kami yang terparkir di garasi rumah. “Nanti pas undangan, bawalah mobil wangi ini ya Neng Guru, aki senang punya saudara memiliki mobil wangi,” senyumnya mengembang.
Kucium tangannya, kubisikan dalam hati, semoga engkau senantiasa sehat dan barokah, ki.
Ah, terlalu langka mempunyai saudara yang seperti aki.
Kebanyakan, hanya senyuman nyinyir di saat saudara lain meraih peningkatan dalam hidupnya. Mencibir dan mencaci, tersenyum dengan kepalan tangan di dalam sakunya. Datang dan berkunjung ketika ada kepentingan yang bergelayut di pikirannya. Tali silaturahmi tak dijaga sepatutnya. Mencari cari kesalahan guna mencari dukungan atas pembenarannya. Maka ketika bersua, seperti sebuah panggung sandiwara, bermuka dua.
Seandainya, pencapaian keberhasilan dunia seseorang dijadikan motivasi, maka berbahagialah adanya bersaudara. Karena untuk mencapaì kebahagiaan yang abadi, harta dunialah kendaraannya.
Bukankah kita bersaudara untuk saling melengkapi mengapai tujuan hidup mencapai ridhoNya? []
Purwakarta, 04 Desember 2017
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.Â