ALLAH Subhanahu wa Ta’ala merupakan satu-satunya tempat untuk kita mengadu. Segala keluh kesah permasalahan hidup kita siap Dia dengarkan. Bahkan, terkadang apa yang kita keluhkan itu dapat terselesaikan karena pertolongan-Nya. Dan seharusnya, dengan adanya hal ini bisa lebih menumbuhkan rasa cinta kita kepada-Nya.
Namun tidak! Ya, tidak semua orang sungguh-sungguh dalam mencintai Allah. Banyak dari kita yang mengaku cinta pada Allah, tapi apa buktinya? Mana bukti rasa cinta kita, hingga kita berani berkata bahwa Allah itu segalanya bagi kita. Jika ya, apa yang dikatakan itu, tetapi mengapa masih banyak dari kita yang berpaling dari-Nya?
Salah seorang bertanya kepada Dzannun, “Siapa yang pantas untuk aku jadikan seorang sahabat?” Beliau berkata, “Temanilah yang ketika kamu sakit ia menyembuhkanmu, ketika engkau melakukan dosa ia menerima taubatmu, ketika engkau meminta ia memberimu dan ketika engkau meminta pertolongan ia menolongmu.”
Adakah sahabat lain setelah engkau menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sahabat? Jika Anda sujud beritahu Dia tentang urusan karena Dia Maha Mengetahui, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, yang tidak didengar oleh orang di sekitarmu karena cintaitu mengandung rahasia. Kirimkan surat di waktu sahur, surat yang tintanya air mata, kertasnya pipi dan posnya penerimaan insyaAllah.
Sebagian orang memahami kalau agama itu kumpulan dari perintah dan larangan, hukum halal dan haram dan lupa kalau cinta Allah dan Rasul-Nya itu melebihi segala-galanya. Mencintai itu pokok permasalahan. Jika tidak ada rasa cinta dalam sebuah ibadah, ketaatan tidak akan dilakukan orang Muslim. Jika Anda mengakui mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, jadikanlah perasaan cinta itu tampak dalam perilaku Anda, dalam tata perkataan Anda, dalam gerak gerik tingkah laku Anda. Kalau tidak, Anda bukanlah termasuk orang yang mencintai.
Diriwayatkan ada seorang dalam perjalanan, tiba-tiba ia melihat seorang perempuan yang baik dan cantik. Orang ini berkata, “Aku jatuh cinta padamu.” “Jika perkataanmu memang benar, aku juga mencintaimu, tetapi aku mempunyai saudari yang lebih baik dan lebih cantik. Ia sekarang di belakangmu. Terserah engkau mau pilih yang mana?” Jawab perempuan itu. Laki-laki ini menoleh ke belakang. Perempuan tadi menampar wajahnya dan berkata, “Jauhilah diriku, wahai pengkhianat! Engkau mengaku sangat mencintaiku, tetapi engkau melihat yang lain. Engkau mengaku kalau mabuk cinta denganku, baru aku mengujimu rupanya engkau berdusta.”
Laki-laki itu menangis, kepalanya tersungkur ke tanah dan berkata, “Aku mengaku mencintai makhluk, baru aku berpaling darinya aku mendapat tamparan di mukaku. Berapa kali aku mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian aku berpaling dari-Nya dan sibuk dengan yang lain. Aku mendapat tamparan di hati, tetapi aku tidak merasakannya. Apakah aku telah sampai derajat yang disampaikan Allah dalam firman-Nya, ‘Sekali-kali tidak! Bahkan, apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka,’ (QS. Al-Muthaffifin: 14).”
Kita lihat berapa banyak yang mengaku mencintai Allah kemudian berpaling dari-Nya, lalai dalam shalat berjamaah atau puasa sunnah, atau tilawah Al-Quran. []
Referensi: Bermalam di Surga/Karya: Dr. Hasan Syam Basya/Penerbit: Gema Insani Jakarta 2015