BELASAN tahun lalu aku mengenalnya, dia sangat mencintai kekasih yang kemudian menjadi suaminya. Ingat di awal pernikahannya yang penuh badai prahara karena ketidakcocokan dengan sikap keluarga suaminya, dia terlihat tegar dan berusaha bersikap baik kepada mereka bahkan tidak menceritakan bagaimana perlakuan mereka pada suaminya.
Tapi tidak di hari itu. Tanda-tanda cinta itu lenyap tak berbekas. Wajah dan ekspresinya dingin ketika dia berkata sudah memasukan tuntutan perceraian terhadap suaminya ke pengadilan agama.
Bahkan ketika aku bahas tentang empat anaknya, tak ada perubahan raut wajahnya sama sekali ketika ia berkata, “Setiap anak ada rejekinya, sudah ada jalan hidupnya. Ada Allah, mereka hidup dalam jaminan rejeki dari Allah. Bukan dari dia.”
Aku terdiam. “Ini bukan kamu yang dulu,” kataku.
“Aku yang dulu sudah mati karena hati sakit meradang terlalu lama, sekarang ini aku yang baru,” jawabnya.
“Iya… kamu yang baru, dengan lelaki yang baru,” kataku.
“Ih.. sinis gitu sih… jangan hubung-hubungkan dengan itu, rumah tangga ini sudah hancur sebelum dia datang,” belanya.
“Enggak sinis, suudzon amat…, aku bilang faktanya aja… Kamu kuat karena kamu merasa dicintai, iya kan?” kataku tersenyum.
“Iya… dia membuatku kuat dan bahagia,” jawabnya. Air wajahnya berubah. Ada rona bahagia di sana.
“Yakin dia mencintaimu? Bukan memanfaatkanmu?” tanyaku lagi.
“Iya… kami akan segera menikah setelah semua urusan perceraian ini selesai,” jawabnya yakin.
“Istrinya sudah tahu?” tanyaku.
“Belum. Laki-laki menikah lagi gak perlu izin istri tua kan, Er?” tanyanya mantap.
“Memang. Tapi dalam islam poligami ada adabnya. Akan lebih baik jika istrinya yang mencarikan madu untuk suaminya, karena kalian akan berbagi suami, berbagi cinta, berbagi waktu, berbagi visi, berbagi misi. Ini bukan cuma soal cinta, ini soal ibadah yang pahalanya besar tapi risiko neraka dunia akhirat pun besar,” kataku.
“Aku yakin dia bisa adil. Dia lelaki yang sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Dia lelaki shalih dan baik hati, aku yakin dia bisa menshalihahkan aku, mendidik aku karena dia bisa menshalihahkan istri dan anak anaknya,” tukasnya lagi.
“Aku cuma ingin rumah tangga yang lebih baik, nyaman, tentram dalam naungan ibadah gak seperti yang aku alami selama ini. Kamu enak Er, kalian berdua seperti kunci dengan gembok yang tidak dapat dipisah dan tidak tergantikan. Kalian selalu mesra dan bahagia sejak awal. Kalian sama-sama shalih dan shalihah, sama-sama berlembut hati, jadi kamu gak akan ngerti yang aku rasakan,” lanjutnya. []
BERSAMBUNG