Oleh: Anna Jameela
BUNDA, saya mau curhat. Tentang isi hati saya. Tentang ketakutan saya pada sosok ibu mertua yang banyak juga ditakuti para lajang yang bakal jadi menantu.
Ketika masih gadis, saya berdo’a kepada Allah meminta supaya dikasih mertua yang baik hati. Bukan mertua yang ikut campur urusan anaknya. Bukan mertua yang sok merasa paling benar sendiri. Bukan mertua yang selalu merasa suami saya adalah anaknya yang harus terus dijaga seperti ia jaga sewaktu suami saya masih kecil.
Ada cara lain yang Allah ajarkan pada saya untuk jawaban do’a tersebut. Saya dianugerahi dua anak laki-laki.
Masyaallah!
Luarbiasa rasanya merawat anak laki-laki. Melahirkannya nyaris meregang nyawa. Berbeda jauh ketika saya melahirkan anak perempuan yang jauh lebih mudah.
Rewelnya, kelincahan dan aktifnya anak laki-laki itu beda jauh dengan anak perempuan. Mendidiknya pun tentu tak sama dengan cara mendidik anak perempuan.
Melihat perbedaan itulah. Perlahan saya mulai sadar, saya amati lekat-lekat wajah suami. Orang yang membiayai hidup saya dan anak-anak ini dulunya pasti dilahirkan oleh seorang wanita yang juga sama seperti lelahnya saya mengurusi anak laki-laki kami.
Apalagi mendengar cerita suami, ibunya (bumer saya) amat sangat memanjakan suami saya, dibelikan apa saja yang diminta. Apakah saya tidak percaya? Tentu saja saya percaya, karena sudah melewati masa itu bersama anak laki-laki kami.
Perlahan, anak laki-laki kami tumbuh besar dan sekarang sudah sekolah. Sebagai ibu, ada banyak kekhawatiran saya kepada anak. Takut kalau ia jatuh, takut kalau ia dijahili temannya. Takut kalau ia sakit, takut kalau ia salah makan, takut, takut dan ketakutan lainnya yang tak berdasar.
Di mana letak jawaban doa saya?
Tepat di sini!
Saat saya khawatir anak saya kenapa-napa.
Dari sinilah muncul kesadaran saya.
“Oh, beginilah rasanya jadi orang tua. Dulu ibu mertua pasti begini juga memperlakukan suami. Semua ibu, pasti begini pada anaknya.”
Bun, sakitkah rasanya melahirkan?
Lelahkah rasanya mengurus anak laki-laki?
Dikit-dikit minta jajan, mewek, gangguin kita ibadah, berantakin rumah, dsb. Allahu Rabb, kalau punya anak laki-laki. Harus menyimpan sabar yang banyak. Kurang sabar? bisa-bisa stress. Ya khan, Bun?
Begitulah Bun, ibu mertua kita dulu merawat suami kita, tak jauh berbeda dengan gambaran anak kita sekarang. Lelahnya ibu mertua kita merawat laki-laki yang hari ini jadi suami kita. Menafkahi suami kita hingga dewasa, sekolah, menikah, berkarir. Dan belum sempat suami kita berbakti pada ibunya sudah kita ambil anaknya.
Kita atur-atur. Jangan ngasih ibunya uang, jangan sering main ke ibunya, jangan, jangan, jangan!
Alangkah egoisnya kita, Bunda..
Laki-laki yang menafkahi kita saat ini adalah laki-laki yang dulunya dinafkahi oleh ibunya, bapaknya, yang hari ini ingin habis-habisan kita musuhi?
Astaghfirullah..
Sadarlah kita, besok, nanti, kelak.. Kita juga akan menjadi mertua bagi menantu kita. Ridha kah kita jika menantu kelak berbuat hal yang sama dengan kita?
Dilarangnya anak kita berbakti pada kita, padahal yang merawat anak kita hingga bisa sekolah, berkarir sampai mampu menfakahinya adalah kita, ibunya. Orang tuanya.
Menantu seenaknya saja mengatur-ngatur anak yang kita besarkan. Yang kita nyaris meregang nyawa demi melahirkan anak yang sudah menjadi suaminya.
Dengan sangar kita menjunjung slogan “SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU!! ”
Duhai Bunda, malu rasanya kalau ingat kebodohan saya dulu yang teramat takut dengan mertua. Wajar mertua ingin memeluk suami kita. Wajar mertua jika ingin merasakan jerih payah anaknya yang kini jadi suami kita. Suami yang kita sibukkan dengan panjangnya daftar belanja bulanan yang harus dipenuhi. Sementara orang tuanya yang dulu habis tanahnya dijual, emasnya, bahkan rumahnya habis juga terjual demi membiayai kebutuhan suami hingga menjadi laki-laki yang mampu membayar semua kosmetik yang kita beli hari ini, membayar daftar belanja bulanan kita sampai lupa dengan orang tuanya sendiri. Astaghfirullah..
Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan mertua kita?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana rindu orang tua pada anaknya?
Di sini kita makan enak, di sana mertua kita makan nasi berlauk garam.
Kita shopping ke mall, beli perhiasan mahal, beli baju mahal. Mertua kita? Jangankan dapat uang bulanan, anaknya mau mengirimkan uang saja kita larang.
Bunda, saya sebagai menantu berangkat dari rasa inilah akhirnya sadar. Suami tetap punya kewajiban pada saya dan anak-anak. Tapi, ia juga punya kewajiban untuk orang tuanya yang renta. Saya sadar, karena suami tidak keluar dari batang pohon jati. Melainkan, dari rahim seorang ibu yang hari ini menjadi mertua saya.
Dibesarkan orangtuanya bersusah payah.
Lantas, kita sebagai menantu ingin merampas kewajiban suami terhadap ibunya?
Neraka menanti wajah suami kita yang durhaka pada ibunya, Bun..
Saya tidak ingin suami masuk neraka hanya karena banyak dituntut supaya ia lebih membela saya daripada ibunya.
Besok, saat kita menjadi mertua.
Seperti apa hari ini kita berbuat kepada mertua, seperti itulah pula gambaran menantu kita kelak berbuat kepada kita.
Allah punya malaikat yang dititipi buku sejarah perbuatan kita hari ini untuk kita alami juga di masa yang akan datang.
Hukum tabur tuai itu pasti berlaku cepat atau lambat. Semoga rumah tangga kita senantiasa diberkahi Allah. Allahumma aamiin.. []