DALAM kondisi tertentu seringkali kita kesulitan untuk menemukan baju bersih untuk melaksanakan shalat. Sedang, kita tahu bahwa shalat itu berhadapan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu kita akan merasa malu jika berada dalam keadaan kotor berkomunikasi dengan-Nya.
Jika dalam kondisi tertetu, seseorang menggunakan pakaian bernajis dalam melaksanakan shalat, bagaimana? Mengingat, dirinya tidak memiliki baju lain yang bersih untuk digunakan. Dan mencari pinjaman kepada yang lain pun tidak bisa. Sedang waktu shalat sudah hampir habis.
Ketika dihadapkan pada kondisi, hanya punya pakaian yang terkena najis dan tidak memungkinkan untuk membersihkannya, sementara waktu shalat akan habis, maka dia dihadapkan pada tiga pilihan; shalat dengan pakaian najis, shalat dengan tidak menutup aurat atau menunggu sampai mendapat pakaian suci, sekalipun di luar waktu shalat
Dan semua pilihan ini kondisinya sama, dia shalat dengan keadaan tidak memenuhi salah satu syarat shalat. Karena itu, pilihan yang diberikan adalah dengan mengambil kondisi yang paling ringan.
Dari ketiga syarat di atas, batasan waktu, suci dari najis, dan menutup aurat, dikelompokkan menjadi dua:
1. Syarat yang terkait dzat shalat, itulah batasan waktu shalat. Artinya, shalat tidak dinilai terselenggara ketika dia dilakukan di luar waktu. Tidak disebut shalat shubuh jika tidak dilakukan di waktu subuh, sebagaimana tidak disebut haji, jika dilakukan di luar bulan haji.
2. Syarat yang terkait penyempurna shalat, itulah syarat terkait pakaian dan kesucian. Artinya, shalat tetap terselenggara, sekalipun dia tidak terhitung sempurna. (Simak Bada’i as-Shana’i, 1/117)
Kemudian, antara najis dan menutup aurat, para ulama beda pendapat dalam menentukan.
Pertama, dia shalat dengan pakaian najis, tapi nanti mengulang jika mendapat pakaian suci Ini merupakan pendapat ulama Hambali dan Malikiyah. Sebagaimana, Ibnu Qudamah mengatakan, “Siapa yang hanya memiliki pakaian najis, maka dia boleh shalat dengan pakaian najis itu, dan dia ulang (setelah dapat yang suci), berdasarkan keterangan Imam Ahmad,” (al-Muqni’ ma’a as-Syarh, 1/316).
Kedua, dia shalat tanpa menutup aurat, sekalipun harus telanjang, dan tidak perlu diulang. Ini merupakan madzhab Imam as-Syafii dan syafiiyah. Sebagaimana, Imam as-Syafii mengatakan, “Jika pakaiannya terkena najis, sementara dia tidak memiliki air untuk membersihkannya, maka dia shalat dengan telanjang, dan tidak perlu diulang. Dia tidak boleh shalat dengan pakaian najis sama sekali,” (al-Umm, 1/57).
Ketiga, jika najisnya kurang dari ¾ pakaiannya, dia shalat dengan memakai baju najis. Dan jika melebihi ¾ dari pakaiannya maka boleh memilih antara shalat sambil telanjang atau shalat dengan pakaian najis. Dan tidak perlu mengulang shalatnya. Ini merupakan pendapat madzhab hanafi.
Al-Kasani – ulama hanafi – mengatakan, “Jika ¼ pakaian yang dia kenakan itu suci, dia tidak boleh shalat dengan telanjang. Namun wajib baginya untuk shalat dengan pakaian itu. Karena suci ¼ ke atas, sifatnya kesempurnaan.”
Lalu beliau mengatakan, “Jika pakainnya semuanya najis atau bagian yang suci kurang dari 1/4 maka dia punya pilihan, menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Dia boleh shalat dengan telanjang, boleh juga shalat dengan pakaian najis. Namun shalat dengan pakaian najis lebih afdhal. Kata Muhammad bin Hasan (murid senior Abu Hanifah). Shalat tidak sah, kecuali dengan memakai pakaian,” (Bada’i as-Shana’i, 1/117).
Dan pendapat yang lebih mendekati adalah dia shalat dengan pakaian najis. Karena jika ada 2 madharat, maka dipilih madharat yang lebih sempit dampaknya. Shalat berpakaian najis, hanya berdampak pada diri orang yang shalat. Sementara shalat dengan telanjang, berdampak pada dirinya dan orang lain yang melihat. Dan dianjurkan mengulangi sebagai bentuk kehati-hatian. Wallahu ‘alam. []
Sumber: konsulastisyariah.com