SETIAP orang tidak pernah terlepas dari kesedihan. Entah itu kesedihan akan dunia atau akhirat. Namun perlu kita ketahui bahwa orang yang berakal tidak akan pernah terlepas dari kesedihan. Ia senantiasa berpikir mengenai kesalahan dan dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga ia merasa sangat sedih dan merenungkan segala sesuatu yang dikatakan oleh para ulama dan orang-orang shaleh.
Malik bin Dinar pernah berkata, “Sesungguhnya hati apabila di dalamnya tidak terdapat kesedihan, pasti akan rusak sebagaimana rumah tanpa penghuni.”
Ibrahim bin Isa pun pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih lama kesedihannya daripada Al-Hasan, dan aku tidak pernah melihat dia kecuali mengira bahwa dia baru saja terkena musibah.”
Dan Malik bin Dinar pun pernah berkata, “Kesedihanmu karena akhirat akan menghilang dari qalbumu sebesar kesedihanmu karena dunia yang mengisi hatimu.”
Telah jelas bahwa kesedihan senantiasa melekat pada hati orang-orang yang bertakwa, maka penting diwaspadai kadar kesedihan yang berlebihan, karena sesungguhnya kesedihan hanya terjadi karena sesuatu yang hilang, sedang kita ketahui cara memperbaikinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Pernah bersabda, “Sisa umur seorang mukmin tiada ternilai harganya. (karena) pada kesempatan itu sesuatu hilang dapat diperbaiki.”
Apabila yang membuat hati sedih tidak mungkin diperbaiki, maka tak ada gunanya bersedih. Dan apabila sedih karena agama, maka harus diimbangi dengan besar harapan akan mendapat rahmat dan karunia Allah agar kondisinya tetap stabil. Adapun kalau kesedihan itu karena kehilangan dunia, maka hal itu jelas-jelas kerugian yang harus dihindari oleh orang yang berakal.
Pengobatan yang paling mujarab adalah kesadaran bahwa kesedihan tidak dapat mengembalikan dunia yang hilang. Kesedihan justru hanya akan melipatgandakan musibah, padahal musibah seharusnya diringankan dan dihindari. Jadi, apabila hati tetap bersedih, maka musibah akan bertambah berat.
Ibnu Umar pernah berkata, “Apabila Allah mengambil sesuatu, maka lupakanlah. Maka kelak akan ada gantinya yang menghibur.” Lalu bagaimana jika yang menghibur itu tidak ada?Maka berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk memalingkan hatinya dari yang hilang. Hendaklah dia sadar bahwa yang mengajak kepada kesedihan adalah hawa nafsu, bukan akal. Karena akal hanya akan membawa sesuatu yang bermanfaat.
Hendaklah dia sadar, bahwa dia akan lupa setelah jangka waktu tertentu. Maka bersungguh-sungguh dalam upaya mendapatkan gantinya. Hendaklah ia tenang selama masa penantian antara dua waktu, waktu kehilangan dan waktu mendapatkan gantinya. Di antara yang dapat menghapus kesedihan adalah kesadaran bahwa sedih tidak akan memberikan faidah, keyakinan bahwa dia akan medapatkan pahala. []
Sumber : mengobati Jiwa yang lelah/Ibnu Al-Jauzy/Mirqat