Oleh: Rosadi Alibasa
BAPAK ………, dialah sosok tempat dimana saya bisa berbagi cerita dan tempat di mana saya mengadu ketika saya mendapatkan kegundahan di hati saya di waktu remaja. Bukan tanpa alasan saya membagi cerita saya, bagaimanapun saya menyadarinya bahwa saya hanyalah remaja yang hendak tumbuh dewasa saat itu. Ketika saya selalu diposisikan sebagai orang lain oleh Bapak saya, dan saya dipaksa menyelami, merasakan dan memahami perasaan orang lain.
Akhirnya saya belajar memahami orang lain.
Saat itu terjadi perselisihan antara saya dan kakak saya. Masalahnya sepele, hanya karena saya berbeda sudut pandang dengannya. Tapi saya memandangnya sebagai permasalahan besar karena saya pikir saya punya alasan dan penjelasan yang akurat tentang permasalah itu.
Lalu saya meminta sudut pandang Bapak saya tentang perselisihan antara saya dan kakak saya. Dan bapak saya pun memberikan nasihatnya dengan memberikan ilustrasi.
“Ketika kakak kamu melihat botol kecap dari depan lalu melihat merk kecap itu,” ujarnya. “Maka dia akan berbicara merk kecap. Dan kamu melihat botol kecap dari belakang, melihat komposisi kecap, ternyata kamu akan menemukan persepsi yang berbeda. Dan kamu menerangkan kecep dari segi kompisisinya. Apa kamu melihat ada perbedaan objek pandang? Tidak. Apa kamu melihat ada sesuatu yang prinsipil yang harus kalian pertengkarkan tentang kecap itu sendiri? Tidak. Berarti kamu sudah paham bahwa sebenarnya kamu dan kakak kamu tidak ada perselisihan, hanya kalian punya sudut pandang yang berbeda. Cobalah memahami kakak kamu, nak! Dan itu tidak sedikitpun akan merugikan kamu. Kamu harus belajar!”
Suatu hari dengan berapi-api saya mengatakan pada teman saya bahwa saya memiliki sistem yang baik untuk merubah pemerintah daerah yang kita tinggali. Tapi teman saya ngotot bahwa sistem yang menurut saya baik tidak mungkin dilakukan. “Mustahil,” ujarnya. Karena menurutnya, sistem sekaranglah yang lebih baik. Lalu saya meminta sudut pandang Bapak saya tentang perselisihan antara saya dan teman saya. Dan bapak saya pun memberikan nasihatnya dengan memberikan ilustrasi.
“Ketika kamu bilang bahwa beras bisa di buat minuman apa kamu akan memaksakan kehendak kamu pada tiap orang sementara pengetahuan mereka mengatakan beras hanya bisa dimakan dan tidak bisa diminum? Misalnya jadi beras kencur? Tidak. Apa kamu akan memaksakan pengetahuan kamu kepada orang yang belum mengetahuinya?. Tidak. Berarti kamu sudah paham bahwa sebenarnya kamu dan teman kamu tidak ada perselisihan, hanya pengetahuan kamu tidak bisa dipaksakan pada orang lain yang belum memahaminya. Cobalah memahami orang lain, nak! Dan itu tidak sedikitpun akan merugikan kamu. Kamu harus belajar!”
Dalam sebuah rapat organisasi di kampus saya, terjadilah perbedaan pendapat antar anggota. Teman saya si A bilang bahwa idenya lah yang paling baik untuk mengembangkan organisasi. Teman saya si B bilang bahwa idenya lah yang paling baik dan teman saya si C bilang bahwa idenya lah yang lebih baik. Perbedaan ide ini akhirnya memanas dan berujung pada bubarnya rapat.
Saya meminta sudut pandang Bapak saya tentang perbedaan pendapat antara teman-teman saya. Dan bapak saya pun memberikan nasihatnya dengan memberikan cerita. “Apa kamu ingat cerita 3 orang buta memegang gajah?” tanyanya.
“Ya,” saya mengangguk.
“Apa kamu ingat ketika mereka bersikeras bahwa gajah itu bentuknya sesuai dengan salah satu bagian tubuh gajah yang mereka pegang?”
“Ya,” saya mengangguk lagi.
“Itulah orang buta, dia hanya akan bersikeras dengan apa yang bisa diketahui oleh salah satu inderanya saja. Seharusnya yang memilki indera lebih lengkap memberikan penjelasan pada orang buta bahwa yang dipegangnya hanya salah satu bagian tubuh gajah saja, bukan seutuhnya. Kamu harus bisa menerangkan pada orang lain tentang sudut-sudut pandang yang berbeda, kamu harus lebih pintar!. Cobalah memahami orang yang punya pengetahuan terbatas, nak! Dan itu tidak sedikitpun akan merugikan kamu. Kamu harus belajar!”
Suatu saat saya merasa memiliki banyak pengetahuan akan banyak hal, meski belum melaksanakannya satu pun. Ketika saya berbagi cerita dengan bapak saya, akhirnya pembicaraan kita mengerucut tentang bagaimana merubah negeri ini.
Dan dengan lantang saya menjelaskan cara berlian untuk merubahnya satu persatu dimulai dari struktur desa yang paling rendah dan DPR yang paling tinggi, dimulai dari Lurah hingga Presiden.
Dengan tenang bapak saya hanya memberikan cerita tentang rapat sekumpulan tikus yang mempermasalahkan banyaknya warga mereka yang mati akibat keganasan kucing.
Tiba-tiba ada tikus muda berteriak bagaimana kalau kita mengalungkan lonceng pada kucing supaya ketika dia datang kita akan mendengarnya dan kita bisa menyelamatkan diri. Semua warga tikus gembira mendengar ide cemerlang tersebut itu. Lalu tikus yang lebih tua berdiri dan berkata siapa yang bersedia mengalungkan lonceng dileher kucing. Semua diam. Hanya diam.
“Cobalah kamu untuk mengerjakan sesuatu jangan hanya memberi ide, nak! Dan itu tidak sedikitpun akan merugikan kamu. Kamu harus belajar!”
Ternyata memahami orang lain itu susah, dan yang lebih susah adalah kita memahami diri kita sendiri. Memberi ide itu mudah tapi melaksanakannya sendiri jauh lebih sulit. []