Oleh: Muhammad Fauzan Irvan
Mahasiswa S1 Ilmu Pendidikan Agama Islam UPI Bandung
DINAMIKA Kehidupan berbangsa dan Bernegara bangsa Indonesia setiap akhir tahunya selalu ramai dan meriah. Banyak yang mengatakan akhir tahun menjadi ujian toleransi dan ujian kebhinekaan bangsa yang berlandaskan pancasila ini. Karena setiap akhir tahun ini terdapat suatu peristiwa sejarah dari saudara kita beragama Kristen, yaitu perayaan Natal.
Perayaan Natal ini semakin meriah karena setiap tahun nya pasti ada perdebatan tentang hukum mengucapkan “Selamat Natal” bagi mereka yang beragama Islam. Serta hukum menggunakan atribut natal lainnya. Dan seakan-akan Natal itu seperti di jelaskan di atas sebagai ujian toleransi dan Kebhinekaan Bangsa Indonesia. Ada kelompok Islam yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan. Kedua pendapat tersebut berlandasakan ilmu dan pemahaman masing-masing.
Sebelum lebih jauh, kita akan coba melihat pengertian Toleransi, menurut Wikipedia Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi menghindarkan terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Contoh sikap toleransi secara umum antara lain: menghargai pendapat dan/atau pemikiran orang lain yang berbeda dengan kita serta saling tolong-menolong untuk kemanusiaan tanpa memandang suku/ras/agama/kepercayaannya.
Mengacu penjelasan di atas, hemat saya Toleransi itu cukup kita menghormati dan membiarkan kelompok lain berkegiatan sesuai keyakinan nya dengan aman dan damai. Tanpa kita menganggu dan mengikuti kegiatannya. Dan tidak boleh ada paksaan kelompok lain untuk mengikuti kegiatan kelompoknya. Membiarkan kelompok lain berkegiatan tanpa di ganggu dan di paksa adalah cara bijak dalam bertoleransi.
Sebagai umat Islam, toleransi yang ditawarkan adalah toleransi yang sesuai dengan syariat Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dalam hal ini betapa sempurnanya Islam dalam mengatur setiap sendi-sendi kehidupan. Islam memberikan sebuah tatanan sosial yang tidak hanya mengatur umatnya dengan sang Khaliq (hablumminallah), tetapi bagaimana manusia tersebut berinteraksi dengan sesamanya (hablumminannas).
Pada dasarnya polemik toleransi dan hukum mengucapkan selamat kepada hari raya non muslim selalu terjadi setiap tahunya karena dalam al quran dan hadist tidak ada yang nash mengharamkan secara Qath’i (Mutlak) dan tidak pula menghalalkannya secara mutlak. Oleh karena itu, mengenai toleransi ini termasuk ke dalam ranah fiqih. Dalam ranah fiqih, ada istilah al ashlu fii asha’i al ibaahah (sesungguhnya segala sesuatu itu pada dasarnya mubah atau boleh) selain dari apa yang telah ditentukan halal haramnya dalam al quran. Dalam ranah fiqih hukum tersebut bersifat elastis dan fleksibel mengikuti perkembangan zaman dan wawasan keilmuan yang dapat dilakukan melalui ijtihad para ulama.
Umat Islam dalam bertoleransi memiliki tiga dasar hukum yang harus dijadikan sebagai titik tolak. Pertama, yang menjadi dasar hukum adalah dalam Q.S Al Mumtahanah :8 “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”Makna dari ayat tersebut adalah tidak ada pengharaman dan pengahalalan secara mutlak dan tidak ada larangan untuk berbuat kepada non muslim, salah satu contohnya adalah dengan saling bertukar hadiah dengan mereka.
Kedua, dasar hukum toleransi pun dicontohkan oleh Rasulullah, teladan utama dalam hal melakukan toleransi yang profesional yang diambil dari salah satu riwayat Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya, Jabir bin Abdullah ra berkata, “Suatu jenazah melewati kami, lalu Nabi berdiri kerandanya, dan kami pun berdiri. Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi. ‘Beliau bersabda, ‘Bukankah dia juga seorang manusia”. Melalui peristiwa tersebut ditegaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat pun Rasulullah menekankan kepada umat islam untuk saling bertoleransi terhadap keyakinan orang lain selama mereka tidak melakukan penyerangan terhadap keyakinan kita.
Ketiga, dasar hukum toleransi dikatakan dalam Q.S Al Kafirun : 6 “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. Dalam surah al kafirun tersebut dipertegas lagi bahwa umat Islam diperbolehkan untuk berbuat baik, berinteraksi dalam hal muamalah namun dilarang dalam ad-diin atau aqidah. Adapun tujuan atau pesan dalam kegiatan bermuamalah tersebut adalah sebagai bentuk mujamalah (basa-basi) dan muhasanah.
Berdasarkan tiga dasar hukum tersebut sudah sangat cukup dan jelas dalam toleransi dengan non muslim. Adapun hukum dalam mengucapkan selamat kepada mereka itu adalah salah satu bentuk tahni’ah (penghormatan kepada orang lain). Tahni’ah dalam toleransi disini termasuk ke dalam ranah fiqih dengan sifatnya yang fleksibelitas dan relevansinya dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Dinamika masyarakat adalah sebuah entitas yang bergerak tanpa henti. Akhirnya topik toleransi dalam umat beragama ini seperti tidak ada akhirnya dan selalu hangat untuk dibicarakan setipa tahunnya, berbeda dengan hukum shalat, khamr, dan zina yang hukumnya qot’ih (pasti) berhenti selesai karena berkaitan erat dengan aqidah yang sudah tegas dan jelas dalam al quran. Dengan mengkaji toleransi ini diharapkan agar membuka wawasan keilmuan dalam hal halal haram agar terhindar dari suatu hal yang syubhat.
Melihat perspektif dan ijtihad para ulama dalam hal ini ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan dalam mengucapkan selamat untuk hari raya mereka. Perbedaan hal tersebut karena faktor wawasan keilmuan, dimana ulama tersebut tinggal dan berada (domain wilayah) dan kondisi sosial masyarakat. Fatwa syeikh Al Utsaimin sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim Al Jauziah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau mengatakan: “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat Natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai dengan kesepakatan ulama” Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya mereka, sebgaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena didalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridha terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya.
Fatwa kedua yang membolehkan adalah Dr. Yusuf Al Qardhawi, beliau berkata bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama, selama tidak merugikan agama lain. “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu”. (Q.S An-Nisa: 86). Namun Al Qardhawi secara tegas mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk mengikuti ritual dalam perayaan agama yang khusus milik agama lain.
Selaras dengan Dr. Mustafa Ahmad Zarqa beliau mengatakan bahwa tidak ada dalil secara tegas yang melarang mengucapkan tahni’ah kepada orang kafir. Karena hal tersebut tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka,melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa basi) dan muhasanah. Majelis fatwa dan riset Eropa juga berpendapat yang sama dengan fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa dalam hal kebolehan mengucapkan tahni’ah karena tidak adanya dalil langsung yang mengharamkannya.
Menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan ulama dalam ijtihad tersebut terdapat benang merah yang dapat kita tarik. Sebagai orang awam, terkait perspektif ijtihad para ulama tersebut haruslah dapat bersikap dengan arif dan bijaksana. Karena para ulama tidak berbeda pendapat kecuali karena memang tidak terdapat dalil yang bersifat shahih dan qath’i. Namun semua itu merupakan ijtihad dan penafsiran dari nash yang bersifat mujmal, maka seandainya benar mujtahid tersebut mendapatkan 2 pahala dan kalau salah mendapatkan 1 pahala. Dijelaskan dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 13/268 dan Muslim no. 1716)_
Kesimpulan dari Mengucapkan atau tidak selamat kepada hari raya agama lain itu kembali kepada keyakinan dan pemahaman masing-masing, dan yang terpenting setiap keputusan yang kita ambil harus di landasi dengan Ilmu dan pemahaman yang baik terhadap suatu masalah. Bukan atas dasar “ikut-ikutan”/Taqlid dan Nafsu syahwat semata. Karena setiap keputusan yang kita pilih akan mendapatkan konsekuensi nya.
Kita semua berpesan jangan sampai karena perdebatan mengenai ini memunculkan konflik berkepanjangan dalam berbangsa dan bernegara kita, dan menganggu kebhinekaan yang telah lama kita rajut. Dan kita semua berharap tidak ada labelisasi “Anti Toleransi, Anti Bhineka dan sejenisnya bagi mereka yang tidak mengucapkan nya, kita harus bijak menghargai perbedaan pemikiran. Karena itu toleransi sesungguhnya. []