BARANGKALI, setelah jenuh dengan pelabelan “teroris”, “fundamentalis”, “radikalis”, dan berbagai sebutan lainnya, akhir-akhir ini umat Islam di Indonesia ramai-ramai ditelunjuki sebagai orang yang “intoleran” alias “tidak toleransi”.
Tidak mengucapkan “Selamat Natal” dikatakan intoleran. Berunjuk rasa damai dan tertib di ibukota, dicap intoleran. Tidak mengucapkan tiga-empat macam sapaan pembuka (greeting) ketika berada di podium, juga tidak toleran. Tak mau memilih pemimpin non-muslim, semakinlah dilabeli sangat intoleran.
Yang terbaru, ketika sebuah toko kueh (cake), Chocolocious Indonesia di Makassar, tidak bersedia membuat tulisan “Selamat Natal” di atas cake yang mereka jual, dibully habis-habisan sebagai toko kueh yang intoleran. Padahal, pemilik toko sudah menjelaskan dengan hormat dan santun bahwa sejak awal mereka hadir, mereka mendeklarasikan diri tidak menyediakan cake yang bertuliskan “Selamat Natal”.
Sangat mencemaskan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja “toleransi” atau “sikap toleran” didefinisikan sebagai kesediaan untuk melakukan apa saja meskipun melanggar syariat agama Islam. Sesiapa saja yang tidak mau “lebur” ke dalam standar pergaulan “semua boleh” itu, pasti akan dikatakan tak punya toleransi. Bahkan, ada lagi stempel tambahannya yaitu “antikebinekaan”.
Sebaiknya kita semua mengulang kembali apa yang dimaksud dengan kebinekaan. Bukankah kata ini berarti rakyat Indonesia itu terdiri dari golongan yang berbeda-beda keimanannya, agamanya? Bukankah perbedaan ini dibekali pula dengan panduan halal-haram yang berlainan pula? Pastilah hal-ihwal yang halal bagi orang lain, belum tentu hahal bagi kaum muslimin. Prinsip aqidah kaum muslimin tidak sama dengan prinsip aqidah kaum-kaum yang lain.
Perbedaan ini sudah ada jauh sebelum para “founding fathers” kita merumuskan Pancasila dan menemukan terminologi “Bhineka Tunggal Ika”.
Sebetulnya, di balik perbedaan prinsip aqidah itu tetap ada ruang kebersamaan. Berikut ini beberapa kisah tentang kebersamaan itu. Satu kisah melibatkan saya sendiri, satu kisah saya saksikan sendiri, dan satu lagi berupa ilustrasi yang saya yakini pantas dilakukan atas dasar kebersamaan yang manusiawi.
Kisah pertama terjadi di depan rumah saya sendiri sekitar setahun lebih yang lalu. Seorang wanita non-muslim yang berusia sekitar 50-an tertabrak oleh mobil pickup yang dikemudikan oleh seorang pria muslim. Waktu itu, di pagi hari yang masih gelap, si pengemudi sedang memundurkan mobilnya dengan kecepatan yang tidak wajar. Dia tidak melihat si ibu malang itu.
Saya dan abang serta beberapa orang lain (semuanya muslim) sangat geram melihat si pengemudi. Abang saya bahkan hampir terpancing mau main hakim sendiri.
Kami melacak tempat tinggal ibu itu. Keluarganya kemudian datang ke lokasi kejadian dan kami suruh si pengemudi mengantarkan si ibu ke rumah sakit terdekat. Sekitar jam 8 pagi, saya dan abang mendatangi RS untuk melihat kondisi si ibu. Setelah itu, keluarga korban mendatangi saya. Dia menyampaikan terima kasih atas perhatian warga terhadap si ibu yang akhirnya tak tetolong walaupun tidak ada luka yang berdarah waktu itu. Saya menyampaikan rasa ikut berduka atas musibah itu.
Itulah kisah pertama. Kami geram kepada pengemudi, dan kami bersimpati kepada si ibu yang menjadi korban.
Kisah kedua terjadi sekitar dua pekan yang lalu. Seorang tetangga muslim meninggal dunia. Seperti biasa, STM (serikat tolong menolong) setempat mendirikan taratak di depan rumah duka. Taratak itu terpaksa memakai ¾ badan jalan. Setelah tahlilan malam pertama berlalu, esok harinya persis di depan rumah muslim itu meninggal dunia pula seorang warga Kristen. Keluarga Kristen harus memasang taratak yang lebih besar ukurannya sehingga mencakup taratak yang terpasang di depan rumah duka yang muslim.
Setelah berunding sebentar, tercapailah kesepakatan. Keluarga muslim membongkar tarataknya supaya keluarga Kristen bisa memasang ukuran yang lebih besar.
Keluarga muslim masih harus melaksanakan tahlilan dua malam lagi. Keluarga Kristen mempersilakan keluarga muslim menggunakan taratak mereka karena belum lagi mereka gunakan. Pada tahlilan malam ketiga, keluarga Kristen mulai kedatangan banyak pelayat. Akhirnya, acara tahlilan malam ketiga keluarga muslim berlangsung serentak dengan nyanyian-nyanyian keluarga Kristen di bawah taratak yang sama, setengah untuk pelayat Kristen dan separuh lagi untuk pelayat tahlilan muslim.
Karena sama-sama menggunakan pengeras suara, akhirnya keluarga Kristen menerima permintaan kami agar volume nyanyian mereka diturunkan supaya bacaan-bacaan tahlil muslim juga bisa kedengaran oleh hadirin muslim.
Itulah kisah nyata kedua. Tidak ada masalah. Kebetulan di lingkungan tempat tinggal saya cukup banyak keluarga Kristen.
Yang ketiga ini berupa ilustrasi saja. Seorang muslim sedang berkendaraan mobil menuju masjid untuk sholat Jumat. Di perjalanan, dia menyaksikan kecelakaan yang menimpa seseorang yang dikenalnya bukan muslim. Karena tak ada orang lain, si muslim mengambil inisiatif untuk mengantarkan korban ke RS dengan mobilnya. Tetapi, disebabkan tindakan dia menolong korban, si muslim akhirnya tak dapat ikut sholat Jumat.
Para ulama berpendapat, tindakan menolong korban (baik muslim maupun bukan) termasuk ‘uzur (dibolehkan absen) sholat Jumat.
Saya berpendapat, dua kisah nyata dan satu ilustrasi di atas menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama tetap hidup hingga saat ini. Janganlah dirusak dengan tudingan-tudingan “intoleran” hanya karena seorang muslim mengatakan bahwa “kami, dengan segala rendah hati, tidak dapat menuliskan Selamat Natal di atas kueh (cake) yang kami produksi”. Atau karena dia tidak mengucapkan Selamat Natal.
Kepada saudara-saudari sebangsa yang bukan muslim. Umat Islam harus menaati perintah untuk menjaga aqidah meraka. Ini murni masalah iman. Bagi kaum muslimin, mengucapkan Selamat Natal adalah pelanggaran aqidah.
Pada titik ini, mohon maaf, kaum muslimin tidak mungkin berada di satu ruangan dengan Anda. Kita berbeda. Kita bineka. Tetapi, kami menghormati Anda, wahai saudara sebangsa dan setanah air semuanya.
Kaum muslimin juga tidak mempermasalahkan kalau saudara sebangsa tidak mengirimkan ucapan Idul Fitri, misalnya. No hard feeling. []