Oleh: Muhammad Mundzir (17105051003)
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Ilmu Hadis, Bandung Jawa Barat
muhammad mundzir <munmundzir@gmail.com
KEMULIAAN Rasulullah saw. merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh setiap manusia di dunia ini. Bagaimana tidak, beliau adalah insan yang paling mulia di dunia ini, beliaulah penerima wahyu Ilahi yang sangat dinantikan syafa’atnya oleh manusia yaitu al-Qur’an, putra bangsawan Abdul Muthalib, beliau juga insan yang menjadi suri tauladan bagi umat Islam, pemberi syafa’at bagi umat Islam dan beliaulah satu-satunya manusia yang hatinya disucikan oleh Allah melalui malaikatNya.
Kehidupan beliau sangat mencontohkan bagaimana kehidupan manusia yang seharusnya. Mulai dari berinteraksi dengan masyarakat, mengajak masyarakat untuk masuk ke Agama Islam dengan cara yang lembut menyentuh hati, ketika menghadapi orang yang benci dengan risalahnya beliau hanya mendoakannya. Sungguh mulia akhlaq beliau, sebagaimana telah diterangkan dalam al-Qur’an.
Berawal dari jatidiri, hati, ruh yang mulia, maka lahirlah keturunan yang mulia juga. Putra-putrinya menuruni beliau dalam kemuliaan. Tidak heran, jika pada zaman Rasulullah banyak orang yang memburu keturunannya, terutama putri-putrinya. Hal itu terjadi karena terdapat beberapa faktor, mulai dari Rasulullah keturunan bangsawan, suami dari Khadijah r.a seorang saudagar kaya, dan Rasulullah mendapat gelar Al-Amin. Faktor-fakor tersebut menjadikan kehidupan beliau dihiasi dengan keindahan. Beliau diberi keturunan yang sangat cantik dan tampan.
Penulis di sini tidak akan membahas sejauh mana kemuliaan Rasulullah saw., karena jika kemuliaan beliau diperbincangkan tidak akan selesai dengan tuntas. Akan tetapi, penulis akan membahas keturunan beliau yang mulia. Membahas secara spesifik putri-putri Rasulullah yang cantik, lembut, dan menjadi buronan para jomblo yang ada pada zaman beliau. Selain itu, tulisan ini akan memaparkan betapa hebatnya karakter putri Rasulullah saw., berawal dari tidak terima karena ayahnya yang dicaci maki oleh kaum kafir, kemudian berlanjut mengikuti perang bersama ayahnya memerangi kaum nonIslam, dan membina rumah tangga yang beraroma romantis Islam, yang diridhoi oleh Allah swt.
Hal ini cukup menarik dibahas, karena mayoritas umat Islam hanya mengetahui akhlaq Rasulullah saw., padahal di kehidupan Rasulullah terdapat keturunannya yang menjadi semangat beliau dalam berdakwah. Selain hal itu, hal ini perlu dibahas untuk memberikan informasi terkait akhlaq-akhlaq putri Rasulullah, khususnya diberikan untuk pemuda-pemudi agar menjadikannya sebagai suri tauladan juga.
Kesetiaan Zainab r.a.
Sayyidah Zainab r.a. merupakan putri sulung Rasulullah dengan Siti Khadijah. Beliau merupakan putri yang sangat dinantikan Rasulullah saw., tidak salah jika beliau juga mendapat gelar Zainab Al-Kubra. (SAW, 1997) Penulis di sini tidak akan memaparkan secara detail masa kecil Zainab r.a. Zainab dikenal oleh masyarakat Quraisy adalah wanita yang lembut, cantik, dan taat. Hal itu dicerminkan dengan banyak laki-laki Quraisy yang ingin meminangnya.
Salah satu laki-laki itu adalah Abul-‘Ash. Dia adalah orang yang terpandang di Makkah keturunan saudagar yang kaya raya. Beliau masih memiliki tali persaudaraan dengan Khadijah r.a. istri Rasulullah saw., tidak salah jika dia memiliki kedudukan sosial yang masih tinggi. Maka dari itu, permintaan Abul-‘Ash meminang Zainab r.a. tidak ditolak oleh Rasulullah dan istrinya. Selain faktor tali persaudaraan, hal yang mendasari diterimanya Abul-‘Ash adalah terdapat perasaan asmara yang dimiliki oleh Zainab dan Abul-‘Ash. Setiap Abul-‘Ash mengunjungi rumah Zainab, Abul-‘Ash selalu tertarik akan Zainab yang memancarkan keramahannya, kelembutannya, penampilan cantiknya, kecerdasan pikirannya, dan tidak lupa Zainab memancarkan kemekarannya sebagai gadis yang dewasa dengan selalu cekatan membantu ibunya. (SAW, 1997)
Zainab r.a. merupakan sosok wanita yang sangat setia. Hal itu dibuktikan dengan kisah-kisah hidupnya setelah dinikahi oleh Abul-‘Ash. Abul-‘Ash adalah pedagang yang sibuk mengurusi perniagaannya, terutama pada musim-musim tertentu saat kota Makkah dibanjiri orang yang berdatangan dari berbagai pelosok Semenanjung Arabia untuk mengikuti upacara-upacara peribadatan di sekitar Ka’bah. Selain itu, ia juga sering pergi bersama kafilah yang berangkat dari Makkah ke Negeri Syam di musim panas dan dingin. (SAW, 1997)
Dengan melihat kesibukannya yang tidak dapat diperkirakan, dan Abul-‘Ash telah memiliki wanita pujaan hatinya Zainab r.a. Sang istripun tidak menghiraukannya, beliau memahami bahwa suaminya juga mencari nafkah untuk dirinya dan calon buah hatinya. Beliau selalu melayani, menyambut dengan hati yang tulus ketika suaminya datang dari berdagang, menyiapkan makanan untuk dirinya dan keluarga meskipun hanya untuk kebersamaan sesaat.
Kesetiaan Zainab r.a. tidak hanya saat menunggu sang suami pulang. Kesetiaannya juga tercermin dari keteguhan cintanya tatkala sang suami tidak menerima ajakan Bapaknya (Muhammad saw.) untuk masuk Islam kepada kaum Quraisy. Ketika ajakan tersebut ditolak oleh sang suami, maka otomatis Rasulullah saw. melarang Abul-‘Ash untuk mendekati Zainab r.a.
Hal itu disebabkan karena perbedaan keyakinan yang dimiliki, dalam hati Abul-‘Ash berkata “Jika aku mengikuti agama yang baru, orang-orang akan berkata bahwa putra Ar-Rabi’ telah mengikuti agama baru karena untuk menyenangkan istri dan mertuanya” selain itu dalam hatinya juga berkata kepada dirinya sendiri “Jika aku tidak mengikuti agama yang dibawa oleh mertuaku, maka pernikahanku akan terhalang”. (SAW, 1997) Pertikaian pikiran yang terjadi di dalam dirinya menjadikan seluruh hidupnya menjadi tidak stabil. Akhirnya Abul-‘Ash tetap memilih untuk menjadi pengikut agama nenek moyangnya dahulu. Peperangan antar keyakinanpun tidak terhindarkan antara mertua dan menantu. Dengan berbekal pengikut yang banyak, Abul-‘Ash mencoba menindas para pengikut-pengikut Muhammad saw.
Bertahun-tahun dua insan yang masih memiliki ikatan perkawinan tidak bertemu dan tidak merasakan cinta. Pada suatu malam dimana para kaum Musyrikin mulai terpojokkan, Abul-‘Ash sangat rindu kepada istrinya Zainab, dan ingin bertemu dengannya. Dengan tekad nekat, Abul-‘Ash menuju ke rumah Zainab r.a., sesampainya didepan rumah istrinya, ia mengetuk pintu dan berharap istrinya membukanya. Dengan hati berdebar karena tekanan dari kaum muslim dan perasaan rindu yang mencekam, pintu yang berulang kali diketuk olehnya, dibukakan oleh sang istri tercinta. Sang istri terkejut dan air matanya berkelinang di pipi, ia terkejut dengan kedatangan suaminya, kemudian ia mempersilakan suaminya masuk dan ia memberi apa yang dibutuhkan oleh suaminya. (Fauzi, 2013)
Ketika Abul-‘Ash masuk dan mulai merasakan cinta yang telah lama tidak tersemi, Abul-‘Ash merasakan terdapat perasaan yang berbeda. Ia merasakan ketenangan di tempat kaum muslim yang ia datangi. Ia merasakan hidup ini sangat indah karena dikelilingi oleh orang yang baik. Ia merasa salah karena telah mengikuti agama nenek moyangnya, tetapi ia tetap kukuh untuk mengikuti agamanya yang dahulu. Setelah menemui istrinya meskipun hanya sekejap, ia langsung pergi khawatir ketahuan oleh kaum muslim. (Abdurrahman, 1992)
Pada akhirnya Abul-‘Ash menerima kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. dan kembali kepada istrinya untuk melanjutkan rumah tangganya. Hal itu sangat dinantikan oleh istrinya, hal yang sangat dirindukan unutk menanam benih-benih cinta kembali seperti awal pernikahannya.
Kemuliaan akhlaq Zainab memang tidak diragukan lagi, ia adalah sosok yang setia, menerima apa adanya, sabar dalam meghadapi musibah. Hal itu dapat dijadikan sebgai suri tauladan bagi wanita zaman sekarang, karena musibah yang ditimpa oleh Zainab r.a. tidaklah ringan, melainkan konflik antara cinta, keyakinan, dan jatidiri. Sedangkan konflik wanita sekarang hanyalah permasalahan finansial dan cinta. Hal itu sangat berbanding jauh jika dibandingkan oleh Zainab r.a. putri Rasulullah saw.
Fatimah Az-Zahra r.a.
Fatimah r.a. merupakan sosok wanita yang sangat disegani oleh perempuan di dunia. Bagaimana tidak, beliau merupakan sosok yang secara tidak langsung mempraktekkan kesetaraan gender. Wanita yang berani berperang melawan kaum kafir Tidak hanya itu, beliau juga memberi contoh menjadi sosok istri yang romantis bagi Ali bin Abi Thalib.
Fatimah merupakan putri keempat dan putri bungsu Rasulullah saw. Dalam kehidupan bermasyarakat Arab, antara jati diri laki-laki dan wanita tidaklah kufu’. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan Fatimah Az-Zahra, baik dalam lingkungan masyarakat keluarganya, lingkungan sekitarnya maupun dalam sejarah Islam. Ia meninggalkan corak sejarah yang sangat penting. (SAW, 1997)
Kelahirannya sangat disambut dengan gembira oleh kelurganya, baik ayahnya, ibunya dan tidak kalah juga kakaknya, Zainab r.a. Sampai-sampai Zainab memberlakukannya seperti anak sendiri. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak bertahan lama, satu demi satu mereka meninggalkannya. Zainab pergi mengikuti suaminya Abul ‘Ash, Ummi Kaltsum dinikahi oleh Utaibah dan Ruqayyah dinikahi oleh Utbah, kedua menantu Rasulullah tersebut merupakan keluarga Abu Lahab. (Abdurrahman, 1992) Ayahnya juga mulai sibuk dengan pemikiran-pemikirannya. Beliau telah menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dunia dan pergi berkhalwah, beribadah dan merenung. Sedangkan ibunya juga sibuk menyuguhkan ketenangan jika ayahnya di rumah dan mengikuti ayah dengan hatinya jika beliau sudah pergi. (Syathi’, 1975)
Fatimah saat kecil merupakan salah satu putri Rasulullah yang berani mengikuti beliau tatkala dakwah. Fatimah tidak takut akan ancaman, penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Musyrikin kepada saudara-saudaranya. Pada suatu hari ia menyertai ayahnya untuk ikut berdakwah. Setiba beliau dekat sudut Ka’bah ada orang-orang Quraisy mendekat dengan keadaan emosi.
Mereka mendekat dengan emosi dan menanyakan apakah benar Rasulullah menghina nenek moyang kami, dan Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang tegas “Iya”. Lalu salah satu orang tersebut menarik baju depan Rasulullah dan tangannya siap memukul. Abu Bakar yang kebetulan dekat dengan lokasi kejadian melerai dan memarahi mereka dengan nada emosi. Para golongan tersebut malah menghabisi Abu Bakar. Kemudian mereka mendekat lagi ke Rasulullah dan Fatimah, tetapi Fatimah menjerit dan mengundang warga pengikut Rasulullah dan melerainya. (SAW, 1997)
Hal ini menjadi cerminan, bahwa Fatimah merupakan wanita yang pemberani, padahal pada saat itu Fatimah masih berumur delapan tahun. Sungguh perempuan yang aneh tetapi hebat. Jika kita lihat dalam konteks zaman sekarang, orang tua lebih mendidik anaknya untuk berdiam diri, mengikuti perkembangan zaman lewat handphone atau android yang diberikan, akibatnya perkembangan karakter anak hanya ditingkatkan melalui pendidikan di sekolah dan di keluarga sendiri. Berbeda dengan pemikiran orang-orang yang backgroundnya santri, maka orang-orang seperti itu akan mendidik anaknya agar kelak seperti Fatimah Az-Zahra, tentunya tempat yang paling layak untuk menjadikan karakter tersebut adalah di pondok. Baik itu di pondok modern atau di salaf. Karena di pondok merupakan ajang untuk menguji mental anak dan memacunya untuk memiliki jiwa kemandirian, keberanian, dan kepemimpinan.
Fatimah merupakan sosok yang memiliki pribadi penuh tanggung jawab. Dengan perjuangan kokoh yang dilakukan oleh ayahnya, maka sudah menjadi tanggung jawab sebagai anak jika ayahnya mengalami sakit dan banyak pikiran. Dahulu sebelum dirinya lahir, ibunya lah yang merawaat dan memberi spirit kepada Rasulullah ketika turunnya wahyu. Dan sekarang ketika ibunya wafat, maka otomatis dialah yang menjadi pengganti ibunya ketika ayahnya mendapat tekanan pikiran. Fatimah menjadi saksi atas berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun yang berat di Makkah. Ia juga menjadi saksi perkembangan sejarah yang abadi pada kehidupan ayahnya yang membawa amanat yang sangat besar untuk disampaikan kepada umat. (Quthb, 2010)
Fatimah tumbuh berkembang di antara ibu yang mulia, yang menanamkan kemuliaan dan kasih sayang dalam jiwanya yang suci. Ia tumbuh dalam buaian kasih ibundanya yang menempanya dengan kebijakan dan keimanan. Rasulullah memberlakukan putrinya dengan baik, bahkan mengistimewakannya. Jika putrinya marah, ia ikut marah. Jika putrinya senang, ia ikut senang. Fatimah tumbuh besar. Kehadirannya memancarkan cahaya seperti ayahnya. Kecantikan, kehalusan, kecerdasan terkenal ketika ia menetap di Makkah dan juga setelah hijrah ke Madinah. Tidak heran jika banyak kaum Muhajirin dan kaum Anshor ingin meminangnya. Mereka datang untuk meminta mutiara yang amat berharga ini. (Fauzi, 2013)
Orang yang pertama melamar Fatimah adalah Abu Bakar. Rasulullah menampik dengan ungkapan yang bijak, “Wahai Abu Bakar, hingga saat ini ketetapab mengenai hal itu belum lagi turun.” Umar bin Khattab mendengar kabar itu kemudian mengajukan lamarannya kepada Rasulullah, yang juga menampiknya dengan ucapan yang sama. Kemudian keduanya Abu Bakar dan Umar bin Khattab menujuke Abdurrahman bin Auf untuk segera meminang Fatimah. Dua sahabat tersebut berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Engkau adalah orang yang paling kaya di antara Quraisy. Jika engkau menemui Rasulullah dan melamar Fatimah untuk dirimu, niscaya Allah akan menambahkan kekayaan dan kemuliaan kepadamu”. Kemudian Abdurrahman bin Auf menuju Rasulullah dan melamar Fatimah, tetapi jawaban Rasulullah sama saja dengan sebelumnya. Setelah Abdurrahman bin Auf juga ditolak oleh Rasulullah, maka dua sahabat tersebut berpikir siapakah yang pantas untk menjadi pendamping Fatimah? Maka keduanya menemui Ali, karena mereka mengetahui posisi Ali yang sangat luhur di sisi Allah dan Nabi saw. Dalam hati Ali sendiri berkecamuk pikiran apa yang engkau punya sehingga berani melamar Fatimah, ia berpikir apa yang aku punya untuk melamar Fatimah putri Rasulullah saw. Akan tetapi dengan tekad berani Ali berangkat untuk melamar Fatimah, ia menghadap Rasulullah dengan menunduk karena takut untuk mengatakannya. Rasulullah mengetahui apa yang berkecamuk dalam pikiran Ali, akhirnya Rasulullah memberi lampu hijau kepada Ali untuk meminang Fatimah. (Fauzi, 2013)
Fatimah merupakan sosok wanita yang sabar, dan menerima apa adanya. Berawal dari pernikahannya dengan Ali yang tidak memiliki harta, dan berani untuk hidup berisiko. Suaminya sedemikian miskin, sehingga tidak mampu untuk membeli seorang budak untuk menjadi pelayan ketika Fatimah capek. Jadi Fatimah bertugas sendirian untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Pada siang hari, Rasulullah pulang dari peperangan dan membawa harta rampasan dan wanita-wanita yang akan dijadikan budak. Ali mengetahui ha tersebut, mereka berdua menemui Rasulullah untuk meminta wanita satu untuk dijadikan sebagai pelayan rumah tangga di rumahnya, tetapi Rasulullah menolaknya.
Malam harinya ketika suhu udara sangat dingin, Ali dan Fatimah kedinginan karena tidur beralaskan kasur yang kasar dan tidak ada selimut, mereka berebut. Kemudian Rasulullah datang mengetuk pintu, masuk dan mengajarkan amalan untuk mengalahkan keletihan jasmani. (Syathi’, 1975)
Fatimah tidak pernah membuat suaminya kesal ketika berumah tangga. Ia selalu taat, setia melayani kehidupan suaminya. Ia hidup dengan kesederhanaan, rendah hati dan perhatian kepada suaminya. Ia menghargai suaminya dengan cara terbaik, menghormati setiap yang diperjuangkan oleh suaminya. Karena sang suami merupakan pewaris Rasulullah, pemegang perwalian, pemilik bakat-bakat istimewa. Maka dari itu, Fatimah sangat mengagungkan suaminya, ia selalu memberikan ucapan terima kasih atas apa yang diberikan oleh suaminnya. (Ordoni, 2007)
Fatimah Az-Zahra juga mendapatkan gelar Ummu Abiha. Ia adalah sosok yang memberikan bantuan kepada ayahnya serta melayaninya, ia juga putri Rasulullah yang paling kecil yang selalu menemani dan menjaga Nabi saw. setelah wafatnya Siti Khadijah. (‘Adawiyah, 2010) Dapat dipahami bahwa Rasulullah sangat mencintai Fatimah Az-Zahra dan sebaliknya. Perjuangan mencicil menjadi seorang pendamping RAsulullah sudah dijalaninya sejak kecil setelah ibunya wafat. Hal itu dapat menjadi contoh, bahwa Fatimah bukanlah sosok yang pemalas, manja, dan keras kepala. Hal itu didukung juga oleh pendidikan yang diberikan ibunya, baik Siti Khadijah dan Siti ‘Aisyah yang mendidiknya menjadi wanita berkarakter dan cerdas.
Suatu hari ketika Fatimah berdoa setelah sholat, putranya Husain memperhatikannya dan bertanya mengapa engkau tidak mendoakan keluarga kita dan malah mendoakan tetangga dahulu. Fatimah menjawab dengan halus, sebaiknya mendahulukan tetangga kita yang serba kekurangn sebelum mendoakan kita. (Amini, 2005) Jiwa sosial juga merupakan faktor kehidupan yang sangat penting, karena tanpa jiwa sosial yang dilakukan, maka manusia seakan-akan hidup sendiri tanpa melihat kebaikan-kebaikan orang di sekitarnya. Fatimah Az-Zahra telah mencontohkan dengan seksama, ia memiliki jiwa sosial terhadap tetangganya. Ia menganggap, kehdupan tetanggaya lebih baik dijamin terlebih dahul sebelum kehidupannya terjamin. Ia setiap hari mendoakan seluruh tetangganya sebelum ia berdoa untuk dirinya sendiri. Ia lebih baik memberi makan tetangganya dahulu sebelum keluarganya dapat terisi perutnya. []
Daftar Pustaka
Abdurrahman, A. (1992). Putri-Putri Nabi SAW. Pustaka Mantiq.
‘Adawiyah, R. (2010). (Skripsi) Profil Wanita Sholihah: Analisis Kepribadian Fatimah Az-Zahra Binti Rasulullah SAW dan Peran edukatifnya dalam Keluarga. Semarang: Fakultas Tarbiyah UIN Walisongo Semarang.
Amini, I. (2005). Fatimah Azzahra Wanita Teladan Sepanjang Masa (Ebook). Jakarta: Lentera.
Fauzi, F. (2013). Keluarga Perempuan Rasulullah. Jakarta: Zaman.
Ordoni, A. M. (2007). Fathimah Buah Cinta Rasulullah SAW Sosok Sempurna Wanita Surga . Jakarta: Zahra.
Quthb, M. A. (2010). 36 Perempuan Mulia di sekitar Rasulullah. Bandung: Mizan.
SAW, A.-H. A.-H. (1997). Baitun Nubuwwah. Jakarta: Yayasan Al-Hamidy.
Syathi’, P. D. (1975). Puteri-Puteri Rasulullah S.A.W. II. Jakarta: Bulan Bintang.
Kirim ide/gagasan Anda sebagai mahasiswa lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.