Oleh: Saad Saefullah
SEMINGGU setelah menikah, aku baru mengetahui bahwa istriku mempunyai suatu kebiasaan. Jika ia tidur, ia harus mendekap sebuah bantal guling—yang menurutnya sudah menemaninya lebih dari sepuluh tahun, semenjak ia kelas satu SLTP, “Bantal guling ini pemberian almarhum ayah, Mas. Dan aku sudah terbiasa ditemani dia.”
Aku tertegun. Ketika sebulan lalu kami masih dalam tahap taaruf, ia tidak mengatakan apa-apa soal bantal guling itu. Tadinya aku hendak sedikit tersinggung dan marah, tapi setelah kupikir-pikir sepertinya tidak terlalu signifikan. Apa iya sih ngambek cuma gara-gara sebuah bantal guling saja?
Jika boleh aku berkomentar, keadaan dan ujud fisik benda itu sudah teramat ‘menyedihkan’. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Mungkin karena sudah sekian tahun menemani dan dijadikan alas tidur istriku, ia sudah begitu ‘kurus’, ‘lepet’ dan warna aslinya—aku tidak tahu sungguh—apakah ia hitam, coklat, atau putih. Kadang-kadang aku tak bisa menyembunyikan ketawaku jika istriku sudah mulai beranjak ke pembaringan dan melihat sorot matanya yang seakan meminta izin agar bantal itu berada di tengah-tengah kami.
Semuanya masih berjalan baik-baik saja, sampai suatu kali kami berdua harus menginap di rumah orang tuaku. Selama ini, sejak kami menikah, kami memang masih tinggal di rumah mertuaku. Malam sekali, tiba-tiba aku tersadar bahwa sebenarnya istriku masih memicingkan mata. Tubuhnya sebentar-sebentar berbalik dan berganti-ganti posisi. Dan aku cukup terganggu dengan ‘kegiatannya’ itu.
“Kenapa,.. Ada apa, Dik?’
Istriku tidak menjawab. Ia duduk, kemudian merapikan rambutnya. Tampak peluh cukup besar membasahi dahi dan dagunya. Ia melirikku, ada yang nanar dalam tatapannya.
“Ya..?” Aku menunggu. Ia menarik nafas beberapa kali.
“Besok, kita pulang dulu ya, Mas….”
“Lho, pulang? Kan janji kamu kita di sini seminggu…..”
“Iya, lusanya kita kembali lagi ke sini… Cuma ngambil bantal gulingku itu. Aku tidak bisa tidur, Mas…”
Aku tertegun, ada yang tercekat dalam tenggorokanku. Aku menarik nafas, jarak antara kota tempat orang tuaku tinggal dan rumah mertuaku sangat jauh. Dengan kereta tercepat saja menghabiskan waktu hampir 12 jam. Jika bolak-balik tentu tidak efektif—terutama sejak hanya demi sebuah bantal guling!—selain juga ongkos perjalanan yang relatif mahal, pun jika hanya bagi salah seorang di antara kami. Pekerjaanku sebagai seorang penulis lepas di beberapa majalah masih belum memungkinkan untuk mengeluarkan sekian jumlah dana tambahan hanya untuk, sekali lagi, sebuah bantal guling.
Aku beranjak keluar kamar. Kuketok pintu kamar adikku, Santi. Pintu terbuka dan Santi menggosok-gosok matanya, “Ada apa, A?”
“Pinjem bantal guling kamu, San…. Teteh kamu tidak bisa tidur..”
Adikku mengerutkan kening, heran mungkin. Tapi ia tidak banyak bertanya, hanya melaksanakan apa yang kuperintah. Ketika kembali ke kamar, istriku masih terdiam. Aku menyerahkan bantal guling yang kubawa. “Ini. Untuk sementara—kuharap—bisa mengganti bantal gulingmu itu dulu…”
Kami kembali tertidur. Tapi aku masih bisa merasakan bahwa istriku sangat resah, dan sepertinya ia tidak sebentarpun memejamkan matanya. Hal ini kemudian menjadi semakin kentara ketika kulihat paginya mata istriku sedikit bengkak dan merah.
***
“KAMU harus mencoba menghilangkan kebergantunganmu terhadap bantal guling itu….” ujarku sore harinya ketika kami hanya berdua di beranda menikmati pemandangan sawah di belakang rumahku. “Sedikit demi sedikit saja…”
Istriku menggeregap. Jilbab lebarnya tertiup angin, “Aku sudah mencobanya, Mas, sewaktu kuliah. Tapi tidak bisa. Bagiku, bantal guling itu sudah teramat menjadi sesuatu yang pribadi. Bukannya kemudian aku menduakan Mas lho…” Ia berhenti sejenak. “Ia selalu kubawa kemana-mana, Mas. Baik ketika daurah, rihlah, berkegiatan kampus dan sebagainya jika aku keluar rumah…”
“Itu hanya mitos dan sugesti yang kamu bangun sendiri. Bertahun-tahun jadinya kamu terkungkung dengan keyakinan itu. Kuperhatikan kadang-kadang ketika kamu hendak tidur, kamu tidak selalu mendekap dia…”
“Mas sepertinya tidak mengerti. Semalampun—bahkan sampai sekarang—aku tidak tidur. Entahlah, dengan memandangnya saja, aku hanya perlu merasa yakin, aman, dan tahu bahwa ia telah berada di sampingku…”
Aku terdiam saja. Ah istriku, bukankah sekarang telah ada aku di sampingmu? Bisikku perlahan dalam hati.
***
HANYA dua hari saja aku di rumah orang tuaku. Malam ketiganya kami kembali segera pulang. Dalam waktu dua hari itu istriku tidak sekejappun beristirahat. Ketiadaan bantal guling terkasihnya benar-benar menyita waktunya sangat. Aku hanya menarik nafas. Orang tuaku nampak kecewa ketika kami memutuskan untuk pulang. Memang tidak setiap waktu sekarang aku bisa berkumpul dengan mereka, tapi bagaimana lagi. Aku juga sangat kasihan pada istriku. Ia tentu butuh istirahat, terutama karena kuharap ia segera akan melahirkan krucil-krucilku.
Namun kemudian, sesampainya di rumah, tiga minggu setelah itu, permasalahan tiba-tiba melebar. Dan semuanya berawal dari bantal guling itu. Aku adalah anak bungsu, dan semenjak kecil aku sudah teramat biasa dimanja. Maka ketika menikah, kebiasaan itu masih melekat padaku.
Kadang-kadang, sebelum tidur, sebagai seorang suami—apalagi pengantin baru, aku berhak meminta istriku untuk hanya sekadar mendekapku saja. Tapi sepertinya pekerjaan itu menjadi teramat mahaberat baginya. Awalnya ia masih mau, namun kemudian, ia dengan halus sedikit demi sedikit mulai meminta untuk harus kembali mendekap bantal guling cekingnya itu.
“Aku bisa dan bersedia memeluk Mas kapan saja. Tapi aku mohon, tidak di saat menjelang tidur. Aku tahu, ini mungkin kedengarannya konyol, tapi kan Mas sendiri sudah memahami keterikatan saya dengan bantal guling itu…”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal, “Dik, tidak setiap waktu aku bisa bermanja-manja terhadap dirimu. Kita masih tinggal di rumah orang tua. Jujur saja, canggung rasanya jika harus memintamu melakukan itu di hadapan orang banyak, walaupun itu keluarga sendiri….’
Istriku tertawa perlahan, “Mas kayak anak kecil saja…. Toh, akukan ada di sampingmu…”
“Lho, kamu juga. Aku jugakan ada di samping kamu… Mengapa kamu memilih bantal guling itu untuk kaudekap dibandingkan suamimu yang ganteng ini?”
Tawa istriku semakin lepas, “Mas, cemburu ya? Cemburu pada bantal guling itu…?”
Aku tertegun sejenak. Cemburu? “Mungkin iya. Kalaupun misalnya aku yang ingin memeluk kamu, akhirnya kamu selalu menepiskan tanganku karena membatasi kamu dengan bantal guling itu. Kamu tahu, Dik, cemburuku sepertinya tidak rasional sekali ya? Mungkin masih mendingan jika aku harus cemburu terhadap laki-laki lain, tapi bersaing dengan sesuatu yang mati begitu?”
Istriku tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia menatapku sedikit tajam. Ada suasana yang asing dan tegang yang tiba-tiba menyergap. Setelah hampir sebulan lebih hidup bersamanya, aku sudah bisa membaca banyak hal dari sikapnya.
“Ada apa, Dik?”
Ia tidak menjawab. Ada bulir bening di matanya yang perlahan menetes membasahi wajah halusnya. Aku hanya menelan ludah, takmengerti.
Kuulang sekali lagi pertanyaanku. Masih belum ada jawaban juga, malah sekarang isaknya mengguncang tubuhnya. Aku jadi sungguh salah tingkah.
“Apakah,… apakah aku menyinggungmu, Dik?”
Ia masih terdiam, namun sejurus, di sela isak tangisnya, ia berbicara tersendat, “Mas… Mas tahu…”
“Ya?”
“Ketika aku memutuskan bersedia menikah dengan Mas, pertimbanganku cuma satu; karena Allah. Mengapa pula Mas tega mengatakan ‘jika Mas harus cemburu terhadap laki-laki lain’…?”
Aku terdiam,mengernyit tak memahami apa yang barusan dikatakan istriku.
Ia melanjutkan, “Pengabdianku tulus padamu, Mas. Aku tidak pernah memikirkan siapapun laki-laki lain di dunia untuk sepenuhnya kubaktikan hidupku. Dan itu aku lakukan, dan sepertinya Mas pun sudah paham, untuk Allah Mas. Perkataan Mas tadi sedikit melukai aku…”
Aku tertegun lagi. Begitu sensitifnya istriku. Ternyata masih banyak hal yang belum kuketahui darinya. Aku membelai rambutnya, “Maafkan aku, Dik… InsyaAllah, aku tidak akan mengulanginya…”
Tapi walau begitu, suasana tetap tidak cair. Ada kebisuan yang tertinggal di antara kami berdua.
***
HARI-hari selanjutnya setelah kejadian itu sungguh menyiksa bagiku. Kaku. Itu yang terasa setiap kali aku dan istriku bersama. Aku jadi tidak berani bercanda, apalagi jika sudah ada dalam kamar. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk melupakan peristiwa malam itu, tapi mungkin aku bukan seorang komunikator yang baik, istriku masih menyimpan puing-puing kejadian itu sepertinya. Ini jelas tidak sehat. Memang sih, ia masih melayaniku sebagaimana kewajibannya, tapi ia tidak banyak bertanya. Kalaupun kuajak bicara, hanya seperlunya ia menjawab.
Suasana ini membuatku sungguh tidak nyaman. Aku jadi berpikir ulang, ini sebenarnya permasalahannya apa sih? Apa benar cuma gara-gara perkataan keseleoku itu atau jangan-jangan malah ujungnya adalah bantal guling itu?
“Dik…” Akhirnya aku membuka wacana. Tidak enak rasanya di awal pernikahan seperti ini ada keantaraan yang begitu menggeregap. “Sekali lagi, maafkan Mas….”
Istriku terdiam. Ia menundukkan kepala. Hening. Aku hanya menggigit-gigt bibir. Menyentuhnya saja sekarang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang mewah dan mahal bagiku. Ia memang tak pernah melarang atau berkata apa-apa, tapi apa iya aku harus bermanja-manja sementara wajahnya ditekuk begitu?
“Sepertinya kita harus bicara…. Mas tidak bisa berpura-pura kalau sekarang ini di antara kita tidak sedang terjadi apa-apa. Mas tidak bisa menganggap bahwa sekarang ini baik-baik saja…”
Ia menarik nafas. “Mas…. Bukannya aku tidak mempercayai Mas. Tapi sekarang sepertinya tindakan Mas sudah begitu kekanak-kanakan…”
Aku mengernyit.
“Aku bisa memahami jika Mas tidak bisa menerima kehadiran bantal gulingku itu. Tapi menyembunyikannya adalah di sisi lain sangat menyinggung perasaanku…”
Lho? “Maksud kamu, Mas menyembunyikan apa?”
“Bantal guling ku itu….”
“Lho…?”
“Mas tidak berusaha untuk memahami aku…. Betapa aku sangat tersiksa sekarang setiap malam, Mas….”
Aku garuk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku sungguh tak tahu di mana bantal guling sainganku itu. Jadi tidak ada ya? Kemana? Beberapa malam ini memang jarang kulihat ujud benda itu. Tadinya kupikir ia sudah selamat terlelap menemani tuan putriku itu dalam dekapannya. “Bukankah setiap malam ia berada di sampingmu?”
Ia terisak sekarang. “Itu bukan bantal gulingku, Mas. Itu punya ibu…”
Lho?
“Terserah kepada Mas, apakah Mas mau mengembalikannya, atau mungkin sudah Mas buang. Tapi harap Mas tahu, kosentrasiku terhadap Mas, terhadap rumah tangga kita, kegiatan sosial kita, menjadi sangat terpecah. Aku kurang istirahat….”
Aku melongo, “Aku tidak tahu, Dik. Kamu pikir aku sepicik itu menyembunyikan kekasih, euh, bantal gulingmu itu?”
Istriku terdiam. Aku hanya beristighfar. Kupandangi wajahnya. Perlahan kususut air matanya yang jatuh satu-satu.
Esoknya aku berusaha keras, mencurahkan waktuku sepenuhnya untuk mencari saingan absurd dan sangat mayaku itu. Segala pelosok kamar kuubek. Bentuk dan ujudnya yang sudah kurus kering dan tak bertulang sangat memungkinkan ia bisa terlipat-lipat dan kemudian terselip di antara apapun di sudut ruangan. Tidak ada. Kemudian, setelah meminta izin, aku mensweeping kamar mertua dan adik-adik iparku. Mungkin saja ia terseret-seret atau tak sengaja terbawa, kemudian hinggap di suatu tempat. Tapi tetap tak ada. Aku menarik nafas.
“Cari apa, Nak?” Ibu mertuaku yang baru pulang dari pasar tampaknya sedikit kaget melihat kondisiku yang penuh jelaga. Iyalah, bayangkan, aku harus merangkak-rangkak di kolong beberapa tempat tidur yang sangat sempit. Wal hasil, punggungku terasa sakit.
“Anu Bu…., euh, bantal guling….”
“Bantal guling? Bantal guling apa?”
Aku tersenyum, “Itu bu, punya Dik Fathya….”
Tiba-tiba ibu terperanjat. Aku apalagi melihatnya. Ia bergegas ke bagian atas rumah yang memang bertingkat dua. Aku mengikutinya. Suasana tiba-tiba terasa ribut oleh derap langkah kami berdua. Istriku sampai kaget melihatnya.
Sampai di atas, di atap di mana biasanya kami menyimpan jemuran, kulihat sosok yang paling tidak kusukai itu tengah mejeng dengan manisnya. Ia bersandar santai pada genteng-genteng rumah.
“MasyaAllah… Ibu baru ingat. Tiga hari yang lalu ibu menjemurnya, karena kelihatannya sudah lama sekali Fathya tidak mejemurnya….”
Aku menarik nafas panjang. Entah harus lega atau bagaimana. Lega karena dengan begini mungkin istriku akan kembali bisa beristirahat. Bagaimana, karena mungkin juga aku akan semakin tersisih lagi. Aku membawanya, dan memberikannya pada istriku. Ia mengernyit. Ada sedikit sumringah, namun ada juga lekuk kekhawatiran di wajahnya. “Di mana Mas menemukannya?”
“Di atas. Ibu lupa mengambilnya setelah tiga hari yang lalu menjemurnya.”
***
MALAMNYA, istriku menghampiriku. Ia nampak malu-malu. Ada rona merah di wajah hitam manisnya. Dan tiba-tiba aku tergetar. Ia kelihatan sangat cantik. Ia berujar perlahan. “Mas…”
“Ya?”
“Aku minta maaf, Mas…”
Aku terdiam. Hanya memandangnya.
“Aku sudah bersuudzon terhadap, Mas. Ternyata aku yang begitu kanak-kanak. Mas mau memaafkan aku?”
Aku tersenyum, “InsyaAllah, selalu ada untuk kamu Dik…”
“Aku juga kemarin berkonsultasi dengan ustadzah, Mas. Menurutnya, aku memang secara tidak langsung menduakan Mas. Hanya karena bantal guling itu semuanya yang terjadi di antara kita hampir terasa berantakan…”
“Terus?”
“Alhamdulillah, tadi siang aku berazam. Bantal itu sudah kubakar. Aku lebih memilih Mas…”
Aku tertegun. Walau geer, aku masih berkata, “Kamu nggak harus seekstrem itu kok, Dik. Aku nggak keberatan menerimanya. Tapi masa iya sih?”
“Betul. Dan semoga Mas memaafkan aku ya…?”
Aku tersenyum. Kukecup keningnya.
Malam itu sangat sunyi dan paling damai dalam tiga minggu terakhir. Malam itu pertama kalinya juga tidak ada yang membatasi tidur aku dan istriku dalam tiga minggu terakhir. Betapa kemarin persoalan rumah tangga kami sepertinya tidak begitu bergizi. Hanya karena sebuah bantal guling?
Aku tersenyum. Ah, menikah.. ternyata banyak hal yang harus dikompromikan. Kupandangi langit-langit kamar. Lama. Aku merasa hampir terlelap, namun tiba-tiba kurasakan istriku berdiri dan ia menatapku seketika. Perlahan dengan wajah yang sangat memelas ia berujar, “Mas, aku tidak bisa tidur…” []
Kemuning 20, 21 Juni 2001
Cerpen ini pernah diterbitkan oleh Majalah Ummi, Edisi Juli 2001