DI wilayah Maru, Turkmenistan terdapat seorang laki-laki paruh baya sang penguasa di daerah tersebut dan pemilik kebun anggur yang luas. Ia bernama Nuh bin Maryam. Laki-laki kaya ini hendak menikahkan putri satu-satunya yang cantik, sholihah, dan cerdas.
Putra-putra bangsawan dan para pembesar dari berbagai penjuru berdatangan untuk meminang, dan membawakan mas kawin yang banyak untuk gadis ini.
Akan tetapi, sang putri terlihat enggan menerima pinangan-pinangan itu.
Hal tersebut membuat sang Nuh bingung. Ia tidak mau memaksa putrinya untuk memilih calon yang putrinya tidak suka.
Hingga suatu ketika ia berniat untuk melihat-lihat kebun anggur yang dijaga sejak dua bulan yang lalu oleh Mubarok seorang budak dari India.
“Hai Mubarok, ambilkan aku setangkai anggur,” seru Nuh.
Lalu Mubarok memberikan anggur tersebut, tapi ketika dimakan rasanya asam.
Lalu Nuh meminta dipetikkan lagi, ternyata rasanyapun asam juga.
“Subhanallah, sudah dua bulan kautinggal di kebun ini, tapi belum bisa mengerti juga mana anggur yang manis atau asam?” tanya Nuh.
“Hamba belum pernah merasakannya Tuan, jadi belum mengerti mana anggur yang asam dan yang manis,” jawab Mubarok.
“Kenapa kau tidak mencobanya?” tanya Nuh.
“Karena Tuan hanya menyuruh hamba mengurusnya, dan tidak menyuruh memakannya, maka hamba tidak akan berkhianat,” jawab Mubarok dengan tegas.
Rupanya Mubarok bukan sekadar seorang budak, namun seorang ahli ibadah yang taat pada Allah. Nuh merasa Mubarok adalah orang yang tepat untuk putrinya. Lalu Nuh menjodohkan Mubarok dengan putrinya.
Gadis cantik itu menerima sang budak menjadi suaminya. Dari pernikahan mereka lahirlah Abdullah bin Mubarok seorang ulama besar di kalangan para Tabiin.[]
Redaktur: Riza Fauzi Saputra