Oleh: Yusuf Maulana
Pensyarah Samben Library; Penulis “Mufakat Firasat”
KHALIFAH Murad III semestinya bersyukur memiliki saintis seperti Taqi al-Din (wafat sekitar 1586 masehi). Taqi al-Din bukanlah saintis sembarangan. Reputasi hasil kerjanya berkelas. Ia kawan Tycho Brahe, yang di Eropa mendapat tempat dan reputasi harum. Taqi al-Din dalam kerja saintis justru melampaui Brahe. Perhitungan astronomi Taqi al-Din lebih akurat dibandingkan hasil observasi Brahe, demikian dikisahkan John Freely dalam Light from The East (2011).
Masih tersebutkan dalam karya Freely, Taqi al-Din melakukan observasi komet pada 1577. Ketika itu malam pertama Ramadhan. Komet melintasi lingkaran planet. Di mata Taqi al-Din, peristiwa di langit itu tak sekadar bukti keagungan Allah, tetapi juga sebuah pertanda di muka Bumi, tepatnya tanda keberuntungan. Selain sebagai ilmuwan, ia yang dipercaya sebagai astrolog di istana Murad III ; semacam juru ramal berbasiskan keilmuan. Ia pun memprediksi bahwa bangsa Ottoman (Utsmaniyah) akan memenangi peperangan melawan orang-orang Persia.
Bukan kali pertama bila serang khalifah memercayai juru ramal berdasarkan objek langit. Pada masa dinasti sebelumnya, terutama Abbasiyah, penggunaan peramal pernah terjadi. Tapi tak sedikit pula ketika ada pendahulu yang memakai jasa peramal tersebut, khalifah pelanjutnya melarang dan menghukum keras para pelaku. Di tengah zaman yang sudah benderang dengan rasionalitas pada era Ottoman, semestinya kajian menyelidiki benda di langit dicukupkan sebagai sebuah kegiatan yang tak menyentuh wilayah supranatural esok hari.
Barangkali atas dasar pemikiran yang terlampau “menggantungkan” nasib esok hari pada benda langit itulah yang membuat ulama terpandang semasa Taqi al-Din memprotes keras pada Murad III. Syeikhul Islam Kaduzade namanya. Tak hanya aktivitas meramal, bahkan sang syekh meyakinkan Murad III agar menutup observatorium, tempat aktivitas para astronom sekaligus astrolog seperti Taqi al-Din. Alasannya, masih dikutip dari karya Freely di atas, “observatorium akan membawa malapetaka bagi dunia karena mencampuri rahasia alam.”
Khalifah sepertinya insyaf. Terjadilah kemudian titahnya kepada para anak buah untuk mengikuti seruan Kaduzade. Pada 22 Januari 1580, observatorium tempat bekerja Taqi al-Din dihancurkan! Kata Freely, “menghentikan riset astronomi di kekaisaran Ottoman, tepat di saat astronom-astronom Eropa mulai membuat penemuan-penemuan yang kemudian mengarah pada bangkitnya Revolusi Sains dan lahirnya sains modern.”
Kenyataan tersebut memang memilukan betapapun latar yang diajukan Syeikh Kaduzade amat bisa dimengerti: menjaga akidah Muslimin. Sayangnya, pemecahan atas kemungkaran yang mungkin ada pada ramalan Taqi al-Din sebenarnya tak perlu sampai harus terjadi penghancuran. Ditambah lagi di bentangan sejarah kekhalifahan, bukan kali pertama sebagian orang dekat khalifah berebut mencari muka dengan pelbagai cara, salah satunya dengan memproduksi kebanggaan dan kejayaan abadi pemimpin mereka itu.
* * *
Isyarat dari benda mati, dari objek langit sekalipun, memang tidak ditoleransi untuk dihubungkaitkan dengan peristiwa hari ini atau esok. Ini semangat memurnikan akidah yang mesti dijaga. Bagaimanapun juga, isyarat, tanda, objek atau apa pun yang dipandang mewakili makan pasti dari kejadian yang belum terjadi, rentang untuk melahirkan dusta. Ada manipulasi tanda yang diyakini sebagai kebenaran absolut, padahal sejatinya masih relatif dan besar untuk berbeda hasilnya. Manipulasi yang kemudian memunculkan reproduksi dusta baru demi menutup prediksi yang keliru ataupun sesat. Dan bilapun “kebenaran” yang hadir, ia memunculkan besar kepala yang menegasikan kemungkinan salah lebih besar di kejadian berikutnya atau sebelumnya.
Pada satu babak kejayaan Islam, para saintis memahami bahwa fungsi meneliti alam raya ini merupakan manifestasi menundukkan diri sebagai hamba-Nya. Memenuhi panggilan untuk memecahkan misteri alam tanpa kemudian melahirkan kesombongan. Tapi “godaan” untuk menetapkan kepastian dari objek yang diteliti, semisal benda langit, membuat sebagian saintis menerima aktivitas membaca tanda yang melampaui kausalitas (sebab-akibat) yang bukan domain manusia. Memprediksi tetanda sebelum gunung meletus jelas berbeda dengan menyimpulkan kejayaan satu bangsa dari pergerakan komet. Bukankah pergerakan komet itu terjadi di langit yang dimiliki tidak satu bangsa?
Kendati demikian, menyelamatkan akidah pun tak berarti dengan serta-merta menilai semua aktivitas sains rentan dari kerusakan. Ini yang sayangnya ditempuh Murad III. Untunglah Biri Rais (Piri Reis) tidak semasa dengan Syeikh Kaduzade karena hidup di khalifah pendahulu Murad III. Kalau syeikh seperti Kaduzade tahu peta Rais memuat kawasan asing yang tak berwujud yang bahkan sampai abad ke-20 mengundang penasaran banyak ilmuwan (kartografer), yakni Benua Antartika, entah apa yang terjadi.
Muslimin oleh Baginda Nabi Muhammad bukanlah dikehendaki menjadi umat atau bangsa yang pesimis hanya karena tetanda benda mati. Bukan juga mendadak optimis karena objek serupa. Keberuntungan dan kegagalan tidak ada kausalitas dengan semua itu, melainkan sudah dikehendaki oleh Allah. Dan dari sini genggaman untuk selalu ingin maju harus hadir. Khalifah al-Mu’tashim Billah memberikan teladan baik soal ini. Pada 838 masehi ia tetapkan tekad melawan pasukan Romawi meski para peramal di Baghdad mengatakan bahwa pasukan Islam bakal dikalahkan mengingat masa itu tahun perunggu! Alih-alih surut memacu kuda, al-Mu’tashim melaju hingga tercatat dalam sejarah kemenangan besar pasukan Islam atas tentara Romawi. Menurut Imam as-Suyuti dalam Tarikh Khulafa’, serangan al-Mu’tashi tersebut “menimbulkan kerugian yang sangat besar di pihak tentara Romawi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah mana pun… menghancurleburkan barisan mereka dan merobohkan bangunan-bangunan mereka, serta mampu membuka ‘Amuriyyah dengan pedang.”
Begitulah kehendak seorang Muslim dalam memandang kerja takdir Ilahi. Ia tak silau oleh ramalan membanggakan; ia pun tak pudar keberaniannya hanya karena ada prediksi yang bakal menyungkurkannya. Hari ini, kita tentu merindu tetanda yang otentik dari para pemimpin, yang lahir dari kemauan keras tanpa menggantungkan kerja kerasnya pada ramalan. Ramalan yang era sekarang kadang berwujud pencitraan diri menggunakan aksesori sehari-hari berkesan murah jelata. Seakan ia yang begini dan begitu dari tetanda bikinan tersebut pasti aslinya demikian. Padahal, semuanya sarat kepalsuan. Dari al-Mu’tashim kita perlu belajar arti berani menantang tetanda sesat. Dan dari kisah tragis Murad III, kita bisa bijak dalam menenggang kesesatan yang ada dalam sebuah putusan adil. []