TAHUN 2030. Sebuah sudut terminal di kota. Aku membereskan semua koleksi kaset Raihan-ku yang sudah begitu bulukan dan merupakan peninggalan dari ayah. Ayah meninggal pada tahun 2000, ketika aku berusia 5 tahun, dan sama sekali tidak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah rumah yang juga tidak berisi apa-apa kecuali segepok kaset Raihan ini.
Dari waktu ke waktu, oleh ibu aku hanya diperdengarkan semua nasyid-nasyid Raihan ini, hingga aku benar-benar hafal di luar kepala. Aku sendiri tidak pernah tahu siapa itu Raihan, namun hanya mengenalinya lewat browsing internet; betapa mereka adalah sebuah grup nasyid yang fenomenal pada akhir 1990-an, merajalela, dan sekarang tentu saja hanya sebuah legenda belaka. Dan kujamin, di zaman sekarang ini tidak akan banyak yang tahu atau pernah mendengar musik mereka. Apalagi anak muda seperti aku.
Secara aku adalah seorang anak yang sama sekali dibesarkan dengan nafkah dari seorang ayah, dan ibuku hanya berjualan, sejak sekolah lanjutan pertama aku sudah akrab dengan kehidupan jalanan—mengamen menjadi salah satu cara yang paling logis yang bisa kulakukan untuk bertahan hidup. Tapi tunggu dulu, aku bukanlah sembarang pengamen. Yap betul, aku hanya menyanyikan nasyid-nasyid Raihan! Lain itu, sori saja.
Selain aku juga ingin mengenalkan apa itu nasyid yang sekarang ini memang sudah punah dan benar-benar langka, juga karena mengamen sekarang pun harus benar-benar mempunyai sesuatu yang lain dari yang lain, yang khas dan berbeda dengan pengamen yang lainnya.