SUATU ketika Imam Syafei (Sang Guru) dan Imam Hambali (Sang Murid) bertemu. Imam Hambali dengan segera menemui Imam Syafei begitu beliau mendengar Gurunya berkunjung ke Bagdad, kota tempat beliau tinggal. Lalu beliau mohon kepada Imam Syafei agar sudi memberikan waktu untuk beliau bisa menambah ilmu dari Sang Guru. Hal ini merupakan tradisi jaman dulu yang sangat elegan, meskipun sudah begitu tingginya ilmu Sang Murid, tetapi masih selalu menghormati gurunya dan tetap minta diberi pelajaran.
Imam Syafei berkata, “Hai Hambali, sebaiknya kamu minta pelajaran dulu dari pembantuku ini (seorang penggembala kambing) sebelum minta pelajaran kepadaku”.
Beliau mencoba menawar agar dapat belajar langsung dari Sang Guru, namun Sang Guru mengulangi perkataannya. Sebagai seorang murid yang taat pada guru, dia menuruti perintah sang guru meskipun ada yg mengganjal dihatinya.
Apa sih hebatnya pembantu yang cuma seorang penggembala itu?
Untuk mengetahui kedalaman ilmu Pembantu ini, Imam Hambalipun bertanya, “Wahai saudara, apa pendapatmu tentang seseorang yg lupa pada saat shalat sehingga meninggalkan satu rakaat dan terus salam?”
Sang Pembantu menjawab, “Apakah aku akan menjawab menurut pendapatmu atau pendapatku?”
Imam Hambali terkejut mendengar jawaban ini, bagamana mungkin seorang Pembantu bisa menawarkan pilihan jawaban. Hal eperti itu hanya biasa dilakukan oleh orang yng berilmu tinggi.
“Jawablah menurut pendapatku dan pendapatmu,” kata Imam Hambali.
Sang Pembantu pun menjawab, “Baiklah, kalau menurut pendapatmu (maksudnya Imam Hambali), apabila lupanya belum lama (kira-kira selama 2 rakaat), maka orang itu hanya perlu menambahkan satu rakaat yang tertinggal lalu sujud syahwi, tetapi kalau sudah cukup lama baru teringat, maka orang itu wajib mengulang shalatnya lalu sujut syahwi.”
Imam Hambali terkejut bagaimana dia bisa mengetahui hal itu dengan tepat.
“Nah kalau menurut pendapatku, apabila aku yang melakukan kesalahan tadi, aku juga akan melakukan hal yang sama seperti pendapatmu itu, tapi aku juga akan melakukan puasa satu tahun lamanya sebagai tebusan atas kesalahanku pada Tuhanku, karena aku merasa sangat takut dan malu telah lupa pada-Nya dan memikirkan hal lain di dalam shalatku,” sambung pembantu itu.
Imam Hambali terperanjat dan terpana mendengar jawaban itu.
Sekarang ia baru menyadari betapa tingginya derajat orang ini, betapa luar biasa kuatnya rasa takut dan rasa malu orang ini kepada Tuhannya. Meskipun dia hanya seorang pembantu dan penggembala kambing, yang dimata orang lain mungkin dianggap rendah, tapi sang guru menyuruh Imam Hambali untuk menimba ilmu kepadanya. Itu semua karena keistimewaan yang ada pada dirinya. []
sumber: inpasonline