SEBAGAI umat muslim yang beriman, kita diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu dan disunnahkan melaksanakan amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah. Di antara shalat yang disunnahkan ialah tahiyatul masjid, yaitu shalat dua rakaat ketika masuk masjid sebelum duduk.
Pada shalat Jum’at, seorang muslim sering kali menghadapi kebingungan untuk menentukan pilihan: apakah mengerjakan shalat sunnah atau langsung duduk demi mendapatkan kesunnahan menyimak khutbah.
Hal tersebut pernah dialami oleh salah seorang sahabat Rasulullah SAW, pada saat itu Rasulullah SAW bertindak sebagai khatib jum’at. Dikarenakan datang terlambat, demi menyimak khutbah keagamaan, sahabat tadi langsung duduk dan tidak shalat tahiyatul masjid.
Melihat hal itu Rasulullah SAW langsung menegurnya, seperti yang dijelaskan dalam hadist Ibn Hibban:
صل ركعتين خفيفتين قبل أن تجلس
“Shalatlah kamu dua rakaat dengan ringkas (cepat) sebelum duduk,” (HR: Ibn Hibban).
Hadist di atas menunjukan saking sunnah dan utamanya shalat tahiyatul masjid, sekalipun datang terlambat. Dan dianjurkan mempercepat shalatnya agar dapat mendengar khutbah jum’at. Hai ini dipertegas dalam hadist Imam Al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:
واما إذا دخل والإمام يخطب يوم الجمعة أو غيره فلا يجلس حتى يصلي التحية ويخففها
“Apabila seorang masuk masjid dan khatib dan khatib sedang khutbah jum’at, hendaklah kamu shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu dan mempercepatnya,” (HR. Imam Al-Nawawi).
Dengan penjelasan di atas, menegaskan kesunnahan shalat tahiyatul masjid tetap berlaku bagi seseorang yang terlambat datang ke masjid pada hari jum’at, meski khatib sudah naik mimbar. Kecuali pada shalat berjamaah kesunnahan ini tidak berlaku, dimakruhkan melakukan shalat sunnah ketika takbir ataupun muadzzin sudah iqamah. []
Sumber: Nu online
Redaktur: Nabila Vriyanka Maharani
Foto: Banjarmasin Post – Tribunnews.com