DI antara sumbangan peradaban Islam, sebut Dr Raghib as-Sirjani, adalah keberadaan dewan pengawasan (al-hisbah). Dewan (diwan) ini bertugas mengiringi institusi peradilan. Seiring kompleksnya kehidupan masyarakat dalam kekhalifahan Islam, menurut as-Sirjani, cakupan tugas dan peran diwan pun meluas. Ranahnya masih amar makruf nahi mungkar.
Dalam bukunya yang berjudul Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, as-Sirjani menceritakan ketegasan Abu al-Husain an-Nuri; kisah yang dikutipnya dari al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir.
Alkisah, Abu al-Husain menyita sebuah perahu yang memuat minuman keras dan menangkap beberapa awaknya.
“Apa ini, dan untuk siapa?” Abu al-Husain menginterogasi.
“Ini adalah minuman keras untuk Khalifah al-Mu’tadhid,” jawab awak perahu.
Tak perlu waktu lama, Abu al-Husain menaiki perahu itu dan berikutnya memecahkan tong-tong berisikan minuman keras tanpa ampun. Entah mengapa, satu tong urung ia hancurkan isinya, dan itulah yang kemudian jadi barang bukti penangkapan dirinya oleh aparat khalifah.
Mendengar teriakan awak perahu, aparat keamanan tiba. Mereka seketika menangkap Abu al-Husain, untuk kemudian dihadapkan pada khalifah.
“Siapa Anda?” tanya al-Mu’tadhid.
Al-Mu’tadhid tidak mengenal Abu al-Husain. Pasalnya, Abu al-Husain diangkat sebagai diwan al-hisbah pada masa Abbasiyyah dipimpin Khalifah al-Mu’tamid, saudara sekaligus pendahulu al-Mu’tadhid.
“Aku adalah pengawas,” jawab Abu al-Husain.
“Siapa yang mengangkatmu sebagai pengawas?”
“Yang mengangkatmu jua sebagai khalifah, wahai Amirul Mukimin.”
Muka Khalifah al-Mu’tadhid tertunduk. Lalu kembali bertanya, “Apa yang mendorongmu bertindak seperti itu (menghancurkan tong berisikan minuman keras)?”
“Rasa kasihan terhadapmu untuk menghindarkan bahaya darimu!”
“Lantas mengapa kau tinggalkan satu tong yang tidak dipecahkan?” Al-Mu’tadhid penasaran.
“Pada dasarnya aku memecahkan tong-tong tersebut demi mengagungkan Allah. Jadi, aku tidak peduli terhadap siapa pun,” jelas Abu al-Husain. “Hingga mendekati tong satu-satunya itu, tiba-tiba aku sadar, aku bakal berhadapan dengan orang sepertimu. Maka, aku pun membiarkannya.”
Muka Khalifah al-Mu’tadhid kembali tertunduk. “Pergilah, aku membebaskanmu!” perintah al-Mu’tadhid. “Ubahlah semua kemungkaran yang kamu ingin mengubahnya.”
“Sekarang tekadku untuk melakukan perubahan telah pudar. Pada awalnya aku hanya berniat karena Allah. Adapun sekarang, aku melakukan perubahan karena syarat yang dikenakan kepadaku,” ujar Abu al-Husain.
Abu al-Husain, sadar putusannya menindak perahu Khalifah sarat risiko. Dan ia merasa sikapnya bertentangan dengan Khalifah. Perkataan Khalifah bahwa “Ubahlah semua kemungkaran yang kamu ingin mengubahnya” dipahami Abu al-Husain sebagai isyarat ancaman alih-alih anjuran kebebasan apalagi dukungan Khalifah kepada kebijakannya dalam menindak tegas kemungkaran. Pilihan Abu al-Husain bulat: mengundurkan diri.
Khalifah menerima syarat Abu al-Husain agar ia “tidak diapa-apakan” ketika berpindah dari Baghdad. Abu al-Husain merasa khawatir, ulas as-Sirjani tentang cerita ini, jika ada seseorang yang merasa benci terhadapnya sehingga mengadukan kepada al-Mu’tadhid. Selepas khalifah ini wafat, barulah Abu al-Husain kembali ke Baghdad.
* * *
Minuman keras bagi seorang khalifah? Sebagian kita mungkin merasa risih dan aneh. Faktanya, beberapa khalifah dalam bentangan kekuasaan Abbasiyyah memang disebutkan para sejarawan dekat dengan minuman yang diharamkan ini. Kendati demikian, kabar-kabar semacam ini tidak boleh dipenggal begitu rupa bila tak ingin memuaskan para pembenci Islam. Perlu kiranya diidentifikasi dengan utuh keseluruhan hidup, khususnya akhir hayat, sosok yang didakwa tersebut. Ini berguna untuk menilai apakah suatu kejadian terjadi pada masa awal-awal, ataukah bukan. Dalam kasus al-Mu’tadhid, Imam as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’ menyebut sosok ini dijuluki oleh banyak kalangan sebagai “As-Saffah II”, merujuk pada Abu al-Abbas, pendiri daulah Abbasiyyah.
Al-Mu’tadhid, kata as-Suyuthi, berhasil membangun kembali dinasti Bani Abbas dengan baik setelah sebelumnya mengalami kehancuran dan kemunduran, bahkan hampir saja hancur. Pada saat terbunuhnya (khalifah) al-Mutawakkil, dinasti ini mengalami goncangan yang keras sekali. As-Suyuthi memberikan profil al-Mu’tadhid sebagai sosok khalifah yang sangat pemberani, berwibawa, berpenampilan menyeramkan, kaya ide; sosok yang penuh kasih sayang dan lemah lembut walau ketika marah bisa bertindak berlebihan.
Di tengah sosok seperti al-Mu’tadhid, tampilnya pemegang amanah seperti Abu al-Husain seyogianya sebuah berkah. Ia menjadi pembeda ketika pemegang kekuasaan menoleransi atau bahkan mendukung kemungkaran—walau dengan diam-diam sekalipun seperti dalam kasus tong minuman keras di atas. Ketika kekuasaan diglamori kemewahan dan pemegangnya dilalaikan dengan kemungkaran yang dianggap “ringan”, hadirnya sosok seperti Abu al-Husain bak oase di gurun. Mata tajam Abu al-Husain seperti itu, hingga di banyak kisah ia ditulis indah sebagai sosok besar pelaku zuhud dan sahabat akrab sufi kawakan al-Junaid.
Perginya pejabat seperti Abu al-Husain jelas sebuah kerugian. Siapa lagi yang bisa mencegah kemungkaran, kejahatan, yang justru diperbuat di pusat kekuasaan? Ia tempuh risiko meski belakangan tersadar ada ancaman mendera. Sayangnya, sejauh ini, saya belum mendapati apakah putusan mundur Abu al-Husain mampu menyadarkan khalifah. Membuatnya insaf dan menjadi pribadi yang bertakwa. Yang jelas as-Suyuthi menyebut al-Mu’tadhid seperti di atas. []