Oleh: Sharmay H. Astamanggala, Siti Humaeroh <musafircinta96@gmail.com
MATANYA menjelajahi seisi rumah itu. Asri banget, pikir gadis yang tengah menunggu si empunya rumah. Ini pertama kali bagi Sharmay—anak kampung baru merantau ke kota—menduduki sofa empuk (kasian banget yak?) di kediaman seorang ustadz yang baru dikenalnya beberapa pekan lalu saat mengikuti pengajian.
Namanya Ustadz Ubi Ibrahim. Jika Alm. Ustadz Jeffri populer dengan singkatan UJ-nya, maka Ustadz Boerhan Ibrahim ini terkenal dengan … apa hayo? Yap benar, Ustadz UBI, hehehehe ….
“Assalamualaikum …!” sesosok pria yang entah berapa umurnya dating menyapa Sharmay. “Maaf menunggu lama, Dek.”
Kaos putih dan sarung membalut tubuh pria itu. Tak lupa peci putih pun bertengger menutupi rambutnya yang sedikit beruban.
Sharmay berdiri menyambut orang yang ditunggunya. “Waalaikumussalam, Ustadz. Ah, nggak apa-apa, kok.” Seulas senyum membingkai wajah sang gadis berjilbab.
“Ada perlu apa, Dek?” tanya sang Ustadz. Tidak biasanya ada remaja perempuan bertamu, mungkinkah dia meminta jodoh? Atau mungkin … dia ingin menjadikan aku jodohnya? Menjadikan aku mertuanya?
Pertanyaan-pertanyaan terus berseliweran di benak Ustadz Ubi.
“O ya, nama saya bukan Dek, Ustadz. Panggil saja saya Sharmay.”
Sejenak tercengang, lalu berkata, “Oh, itu taktik agar saya tidak usah bertanya siapa nama–”
“Sharmay, Ustadz!” potong Sharmay cepat.
“Hadeuuh…. Iya, saya tau!” Ustadz Ubi membuang napas, agak kesal. Gue emang udah berumur, tapi gak telmi juga, batinnya.
“Ada yang ingin saya tanyakan. Sebelumnya dua hari yang lalu saya ke sini, tapi katanya Ustadz sedang ke luar kota.” Gadis berjilbab itu mengutarakan maksudnya.
“Iya, semalam saya baru pulang, lalu istri menyampaikan ada gadis yang ingin bertemu saya. Memangnya apa yang ingin Sharmay tanyakan?”
“Begini ceritanya….” Mata Sharmay menerawang ke atas seolah menyaksikan cuplikan kisah yang diputar oleh memorinya. Pandangan Ustadz Ubi latah mengikuti tingkah sang tamu.
***
Firasatku buruk! Sepertinya keberangkatan ke tempat perantauan tertunda beberapa jam karena kakakku kedatangan tamu dari jauh, katanya teman seprofesi.
“May, keberangkatan kamu ditunda sampai teman kakak pulang, ya, kasihan dia jauh-jauh ke mari. Hanya sebentar, kok. Jangan khawatir, nanti kakak anterin kamu.” Kabar yang dibawanya cukup membuat hatiku dongkol.
Aku terdiam di dapur, tiba-tiba kakak datang kembali, “Buatkan kopi Kereta Api dua!”
“Persediaan cuma ada satu lagi, Kak!” seruku sambil membuka lemari tempat menyimpan stok kopi sachetan.
“Ya sudah, buat satu saja untuk tamu,” tandasnya, lalu melenggang pergi ke ruang tamu.
Kopi untuk tamu pun kuseduh. Saat akan mengaduknya, aku lupa belum membawa sendok. Padahal hanya sebentar kopi itu ditinggal. Ketika aku kembali, ada seekor cicak yang tercebur ke dalam gelas kopi!
“Hei, cicak apa kau masih hidup?” tanyaku.
Tak ada jawaban.
Sepertinya cicak itu tewas seketika karena tak tahan berenang dalam air panas.
***
“Sebentar …,” Ustadz Ubi menjeda kisah Sharmay. Kedua alisnya saling
bertaut, heran. “Masa Sharmay nanya begitu sama cicak? Kenyataankah itu?”
“Nggak sih, biar agak keren ceritanya keren aja . Hehehe….”
Pipi Sharmay bersemu merah dan terkekeh sumbang mendapati bola mata
pria di hadapannya berputar malas.
Keren apanya? Ustadz Ubi menggerutu dalam hati.
“Lanjut ya?”
Sang Ustadz mengiyakan
***
Menyadari cicak malang tewas dalam kopi panas, segera kuevakuasi mayat itu dengan sendok, lantas berlari ke luar untuk memandikan, menyolatkan, dan menguburnya.
Bohong! Aslinya langsung dibuang ke kolam belakang rumah.
Saat kembali ke dapur, di meja ada keranjang belanjaan, itu artinya istri kakak sudah pulang dari pasar. Tapi … dimana gelas itu? Tadi di atas meja. Lenyap ke mana?
Tak lama wanita yang dinikahi oleh kakakku datang dari ruang tamu membawa nampan.
Celaka!
“Kakak, gelas berisi kopi yang tadi di sini ke mana? Apa Kakak membawanya ke depan?” Dengan tempo amat cepat aku menghunjaninya dengan pertanyaan, saking panik.
Entah kaget atau apalah, istri kakak hanya menjawab dengan anggukan saja. Tapi, dari tatapannya meminta penjelasan, ‘Kenapa memang?’
Kedua tanganku membekap mulut yang menganga. Aku tak percaya ini!
Sampai tamu itu pulang, aku tak berani ke luar kamar.
Syok!
***
“Makanya kemarin sepulang dari kampung, sorenya saya langsung ke rumah Ustadz, mengabaikan rasa lelah demi menanyakan hukum kopi itu. Halal atau haram, Ustadz?”
“Hmm…,” tangan kiri sang Ustadz memainkan jenggotnya sembari memejamkan mata. Memang Ustadz Ubi ini ketika mengisi pengajian sering membahas persoalan yang berkaitan dengan ilmu Fiqih.
Maka dari itu Sharmay menemuinya.
“Hukumnya bisa halal bisa haram,” lanjutnya.
“Loh, itu bangkai kecebur ke dalam kopi, Ustadz! Kok bisa halal?”
“Bisa, walaupun terkena bangkai. Asal bangkainya itu sejenis hewan yang tidak mengalir darah banyak ketika sebagian tubuhnya dilukai. Seperti cicak, lalat, lebah, semut dan semacamnya. Kalau kopi itu
kecebur bangkai ayam jadi haram, sebab ayam adalah jenis hewan yang ketika dilukai darahnya akan keluar banyak,” papar Ustadz Ubi.
“Oh … saya mengerti, tapi kalau ayam kecebur ke dalam gelas sepertinya mustahil, Ustadz!” Sharmay protes, “Mana ada! Gak muat!”
Lagi, Ustadz memutar bola matanya malas dan membatin, hadeuuh!
“Ya … misalkan! Bukan air kopi saja, pokoknya setiap air yang kurang dari dua qullah; mau seember, sebaskom ketika kejatuhi bangkai ayam atau hewan semacamnya menjadi najis dan haram diminum, apalagi dipakai bersuci.”
Begitu seriusnya Sharmay memerhatikan penjelasan dari pria itu. Entah benar-benar paham atau … entahlah! Pencerita juga bingung.
“Kalau begitu, kasus cerita dari kopi saya itu tidak najis dan boleh diminum, ya, Ustadz Ubi?”
“Betul, tapi dengan syarat air kopi itu rasa, warna, dan aromanya tidak berubah, Sharmay,” tambahnya.
“Ng … kalau aroma … waktu itu masih khas kopi, warna tetap hitam pekat. Nah, kalau rasa saya nggak nyoba. Terlanjur dihidangkan. Kalaupun belum dihidangkan, saya mana mau nyicipin air yang tercebur
bangkai cicak. Hueekk!” tubuh Sharmay bergidik jijik membayangkan dirinya meminum kopi itu.
“Satu lagi, bangkai cicak itu tercebur bukan perbuatan manusia secara sengaja,” Ustadz Ubi mengambil napas sejenak, lalu, “meski kopi itu tidak berubah warna, rasa dan aromanya, kalau sengaja tetap najis, haram diminum.”
Sharmay termenung.
Ustadz Ubi mengamatinya dan bergumam, anak ini terlihat lebih baik kalau diam daripada berbicara dan memotong ucapanku. Aku harus memakluminya, dia kan masih remaja labil.
“Sudahlah, yang lalu biarlah lalu, Sharmay. Mudah-mudahan rasanya pun tak berubah walau bangkai cicak pernah berenang di dalamnya.”
“Semoga saja…. Kalau tamu itu tau pernah ada cicak tercebur dalam kopi yang diminumnya … saya tak sanggup melihat mimik wajahnya.”
Sharmay dan Ustadz Ubi tertawa berbarengan.
Hening sejenak. Sharmay memulai kembali pembicaraan, “Kalau boleh tau, Ustad ke luar kota ngisi ceramah ya?”
“Nggak, saya silaturahim ke beberapa teman sesama penulis, ke Jakarta, Bogor, Cianjur dan terakhir ke Banjar, di sana paling lama. Eh, sebelum singgah di Banjar saya ke Italy dulu,” katanya dengan mata
menerawang mengingat perjalanan yang cukup melelahkan, namun menyenangkan.
“Hebat!” Sharmay berdecak kagum, “Ustad silaturahim ke Italy!”
“Indonesia bagian Tasikmalaya maksudnya.” Sang Ustadz terkekeh.
“Dua hari yang lalu saya baru pulang dari Tasik juga, Ustadz! Tepatnya dari rumah kakak saya.” Perasaan bahagia mencuat dalam dada, ternyata orang yang dia kenal pernah singgah di kota kelahirannya.
“Sayangnya di Italy hanya sebentar, karena teman saya hendak pergi ke terminal. Tapi, saya bersyukur dapat buku karyanya berjudul NEGERI PENCURI PARFUM.” Ustadz Ubi menyeringai. Sedangkan lawan bicaranya menampilkan ekspresi wajah yang sulit diterjemahkan.
“Kenapa Sharmay?”
“I-itu judulnya seperti novel milik kakak saya, Ustadz, namanya Bangmo Muhammad Ridwan!”
“Jadi—kopi itu….” Ustadz Ubi permisi untuk pergi ke belakang.
Sharmay bergeming, matanya tak berkedip beberapa detik. Apakah pikirannya tak salah menyimpulkan.
Sharmay pun mengikuti sang Ustadz karena masih ada yang mengganjal dalam benaknya.
“Hueeekkk…. Hueeeekkk!”
Duh Gusti, lebih baik aku tidak tahu kalau kopi yang kuminum tercebur cicak mati. Batin Ustadz Ubi menjerit.
Dengan polos Sharmay bertanya, “Ustadz, waktu itu rasa kopinya gimana?” []
Italy, 5-Des-15