Oleh: Hendriyan Rayhan
Alumni Ma’had Khairul Bariyyah Kota Bekasi
rayhanmuslim@gmail.com
SERINGKALI kita mendengar kata ini. “Kepedean banget, Lu,” begitu misalnya kalau di Betawi. Biasanya ini dialamatkan pada orang yang menyebutkan atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Kata ini menunjuk pada makna ‘terlalu percaya diri’.
Sebenarnya percaya diri memiliki nilai positif. Ketika seorang siswa hendak mendaftar di Perguruan Tinggi favorit, ia harus memiliki rasa percaya diri. Ia harus percaya bahwa dirinya mampu melewati tahapan demi tahapan seleksi. Jika tidak percaya diri, maka ia akan menyerah sebelum bertempur.
Ini berbeda ketika percaya diri diistilahkan dengan ‘kepedean’. Ia menjadi gambaran yang negatif. Barangkali karena ia mengandung makna ‘terlalu percaya diri’. Berlebih-lebihan memang sering tidak baik. Percaya diri itu harus, tetapi terlalu percaya diri pun tak bagus.
Manusia memang memiliki tabiat bangga terhadap dirinya. Maka hampir setiap orang akan mendapati dirinya disebut ‘kepedean’. Hamka mengutip Jalinus al-Thabib yang berkata: “Karena segala manusia cinta akan dirinya, tersembunyilah baginya aib diri itu. Tidak kelihatan olehnya walaupun nyata. Kecil dipandangnya walaupun bagaimana besarnya.” (Hamka, 2015: 168)
Pada kesempatan tertentu percaya diri memang dibutuhkan. Ia menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas diri. Akan tetapi percaya diri yang berlebihan perlu dihindari. Ini akan membuat lupa akan aib diri dan berujung menjadi tak tahu diri. Lebih parah lagi apabila buta terhadap aib diri, tetapi jeli terhadap aib orang lain.
Kita mengenal peribahasa, “Semut di seberang laut terlihat, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Ini bermula dari kepedean. Perilaku semacam ini tentu menjadi penyakit yang harus diwaspadai. Kepedean yang berujung pada lupa akan muhasabah. Berkenaan dengan ini Buya Hamka menuturkan dalam bukunya Tasawuf Modern sebagai berikut: “Tiap-tiap orang takut cacat dirinya. Di sini nyata bahwa manusia tidak ingin kerendahan. Semua suka kemuliaan. Tetapi jarang orang yang tahu akan aibnya, dan tidak tahu akan aib diri, adalah aib yang sebesar-besarnya.” (Hamka, 2015: 168)
Kita boleh mengejar kemuliaan. Sangatlah wajar bahwa manusia tak ingin kerendahan. Rasa percaya diri dalam meraih prestasi pun sangat dianjurkan. Akan tetapi itu semua hendaklah berada pada dosis yang tepat. Jangan sampai terlalu kepedean dan lupa untuk memperbaiki diri.
Maka kalau ada yang mengatakan, “Kepedean banget, Lu,” bersegeralah insyafi kekurangan diri. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.