Oleh: Robi Suganda
AKU mengayunkan langkah tergopoh-gopoh. Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Mukaku tak sempat dibasuh. Rambut kusut. Pelupuk mata terasa berat diangkat. Sarung yang membelit badanku terasa amat membebani. Herannya di mana Ibu? Tumben tak membangunkanku. Baterai di rumah belum diganti. Handphone belum di-charge. Hanya warna langit mejadi petunjuk, seolah membisikiku, “masih ada waktu buat berkumandang.”
Sialnya, di gang sempit ini seseorang yang harusnya kudahului, kini memunggungi. Menghalangi jalan. Beratnya beban usia ditambah perutnya yang buncit membuatnya lambat menyeret kakinya. Orang ini amat kukenal. Pak Marno tetanggaku. Dan bila aku tak menyusulnya. Shubuh ini aku gagal lagi. Niatku urung. Asaku menguap. Pasrah mendengar,
“Hahhhsilanhh…haifalah…”
***
“Aku mau seperti Bilal Bin Rabah, Bu!”
“Ditimpa batu?” ujarnya datar.
“Bukan, aku mau jadi muadzin masjid kita. Muadzin tetap! ”
“Kalo mau ya coba saja, jangan maunya aja, azannya malu-malu,” sindirnya.
“Besok aku janji. Mulai dari shubuh dulu. Nggak akan malu lagi. Dengarkanlah, Bu. Jamaah akan banyak lagi seperti saat Pak Basuki masih hidup!” .
“Huss… ngawur, mau Pak Marno atau Pak Basuki nggak ada hubungannya sama jumlah jamaah. Meski ya suaranya jauuuhh.”
Aku tetap bersikeras pada pendirianku. Seperti yang pernah disampaikan guru ngaji selepas magrib. Rasululoh memilih Bilal mungkin karena suaranya yang lantang dan merdu. Ketika Almarhum Pak Basuki jadi muadzin, tak diragukan lagi, suaranya juga lantang dan merdu. lebih menyentuh hati. Bukankah saat hati tersentuh, seseorang akan lebih mudah tergerak shalat ke masjid? Buktinya pada masa beliau, jamaah hampir empat shaff penuh, sedangkan sekarang, ketika Pak Marno beralih menjadi muadzin, jumlah jamaah berubah menjadi setengahnya. Satu-satunya penyebab adalah kualitas suara. Suara Pak Marno sengau atau seperti bergumam. Tak jelas vokalnya. Yang mendengar malah menggerutu. Andaikan dinding punya telinga, retak-retaklah permukaanya.
Saat kuutarakan itu, Ibu lagi-lagi menegurku, “Huss… jaga mulutmu! Pak Marno itu, meski suaranya ya begitu. Niatnya baik, Nak. Paling rajin datang ke Masjid, ” sergah Ibu. Matanya menyala.
“Bu, jamaah dikit kan semenjak Pak Marno itu jadi muadzin.”
“Nggak ada hubungannya! Tetangga kebetulan saja ada kesibukan. Buktinya papamu sekarang dinas keluar kota. Tiga bulan. Hayo!”
Ibu memang tidak pernah sependapat denganku tentang masalah ini. Memang sesaat bila dipikirkan, benar juga. Apakah ada hubungan sebab akibat antara kualitas suara dan jumlah jamaah. Proses Pak Marno jadi muadzin pun berjalan alami tanpa keinginan beliau sendiri. Pak Marno memang selalu datang lebih awal. Bapak-bapak yang lain, selain datang belakangan atau malah terlambat, pun kalau ditawari sama sepertiku. Malu-malu! Akhirnya Pak Marno berinisiatif. Karena itu beliaulah seoalah muadzin tetap masjid dalam perumahanku. Tapi, tak bisa begini terus. Muadzin haruslah bersuara lantang dan merdu. Aku harus bergerak! Hanya ada satu cara merebut posisinya. Datang lebih awal dari Pak Marno!
“Nak, bangun! Katanya mau azan!”
“Jam berapa, Bu?”.
“4.10, gih!”
“Hah!” 20 menit lagi shubuh. Aku harus lebih awal.
Bergegas kumenuju masjid. Diiringi suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Udara dingin menggigit tulang. Namun keheningan subuh begitu membuatku takzim. Kususuri jalanan perumahan yang lengang. Tidak terlalu jauh dari rumahku memang. Tinggal melewati jalan utama depan rumahku, sampai bertemu gang sempit di ujung jalan. Lalu masuk gang tersebut yang hanya cukup dilalui seorang saja. Setelah itu belok kanan. Tidak jauh dari situ tampak masjid Al-Furqon berdiri gagah.
Masih hening, tak ada siapapun. “Hehe, Pak Marno belum datang”, gumamku senang.
Jarum jam masjid menunjukan subuh dua menit lagi. Setelah berwudhu. Aku pun mengambil posisi berdiri tegak sambil tangan mengarahkan mik ke mulutku. Sesaat terdengar suara derap langkah kaki. Kian mendekat. Entah mengapa, jantung berdegup tak menentu. Lutut bergetar. Begitu juga jari-jemariku. Akibatnya mik yang kugenggam ikut bergetar sama seperti bibir di depannya.
Aku mendadak kesulitan bernafas. Dadaku sesak. Pikiranku kalut. Bagaimana bila aku lupa? Bagaimana bila suaraku malah lebih tak jelas dibanding Pak Marno? Bagaimana bila orang-orang malah jadi enggan shalat gara-gara mendengar suaraku?.
“Mas, sudah waktunya,” suara Pak Marno memecah lamunanku.
“Duh, Pak, saya tiba-tiba sakit perut, mau ke belakang dulu, Bapak saja yang adzan yaa…,” suaraku memelas.
Pura-pura mengelus perutku. Lantas tergopoh-gopoh berlari ke WC. Di kamar mandi, kumaki-maki diriku. Bah, kenapa harus tegang? Kenapa jadi tidak percaya diri? Dua tahun lalu padahal sempat meraih juara dua lomba adzan se-SMP.
Haduh. Aku merutuk. Bertambah kesal lagi setelah suara azan itu berkumandang.
“Looohh..bar..”
“Eloohhh….uakbwerrrr”
“Hassolaahhh..haffalaaahh…”
Ibu tak henti menertawaiku. “Owh gitu ya suara anak ibu kalau adzan, bagus sekali! Ibu jadi tersentuh!” raut wajahnya amat dibuat-buat. Begitu menyebalkan.
“Ah ibu, itu bukan aku!”.
Kujelaskan berkali-kali dalihku kalau saat itu sakit perut. Tapi Ibu hanya tersenyum. Ia selalu tahu aku berbohong. Aku jadi salah tingkah.
Hari berganti hari. Subuh berganti subuh. Setelah mengumpulkan keberanian. Ditambah telinga sudah tak tahan. Maka kuputuskan esok adzan perdanaku. Yah. Malam ini kuhabiskan untuk melafalakan adzan berulang ulang. Memupuk rasa percaya diri. Tak perlu ada lagi pikiran-pikiran yang mencuri ketenanganku seperti shubuh beberapa hari silam. Esok shubuh, aku yang azan. Ada siapapun di masjid. Tak kan membuatku gentar! Tunggu saja!.
***
Aku masih di belakang. Menatap punggunya. Pikiranku berputar-putar mencari jalan keluar. Tak enak rasanya bila aku menyerobotnya di ujung jalan tanpa berbasa-basi. Namun bila sudah berbasa-basi lebih tak enak lagi mendahuluinya.
Terpaksa harus jalan bersama. Aha! Aku dapat ide!.
“Sakit perut!” gumamku. Satu-satunya cara mendahului Pak Marno di ujung gang. Yaitu Kususul beliau dengan alasan buru-buru mau ke masjid. Perutku melilit. Cara ini akan melepas rasa tak enakku mendahului Pak Marno. Ia pun biasa saja, seolah memaklumi.
Berhasil. Aku sudah di muka masjid. Tak sabar melangkahkan kaki memasuki rumah Alloh ini. “Waw, tumben sudah banyak orang!” Kulihat bapak-bapak duduk menyebar mengisi ruangan.
“Tak boleh gentar,” batinku. Pak Marno masih di belakang. Sebelum ia mendekat. Segera kuambil mik. Menaruhnya di depan bibirku lalu berkumandang dengan lantang dan irama yang merdu.
Begitu kuresapi setiap kalimat yang keluar dari bibirku. Akhirnya, gumamku dalam hati. Penuh rasa syukur. Namun lamat-lamat terdengar suara gemuruh di sela-sela mengumandangkan adzan. Tersentuh kah? Atau sebaliknya? Tak gentar! Kulanjutkan hingga usai.
“Mas mas..,” panggil bapak disampingku usai azan. Aku mendongak. Tanpa sempat berucap.
“Udah beres shalatnya, udah azan dari tadi.”
Terdengar suara cekikian yang tertahan. Gelap! Ini shubuh pertama dan terakhir kalinya aku mengumandangkan adzan. []
Robi Suganda sekarang tengah bekerja sebagai karyawan swasta di PT Ultrajaya. Hobinya menulis, menonton dan melamun. Karya yang pernah dihasilkan adalah buku antologi bersama penulis lainnya, di antaranya Shubuh yang Paling Sunyi, Melukis ka’bah dan Jarak Cinta. Impiannya adalah menjadi pembicara dan penulis yang menginspirasi. Bisa berinteraksi bersamanya melalui akun media sosialnya dengan alamat Twitter : @Robisuganda , Facebook Robi Suganda, Blog: RobiSugandash.blogspot.com, Cinemastorybook.blogspot.co.id