Oleh: N. Vera Khairunnisa
husnaaddaiyah@gmail.com
DUNIA ibu dikejutkan dengan berita seorang Ibu muda yang menjadi tersangka pembunuhan ketiga anaknya.
Evy ditetapkan sebagai tersangka lantaran membunuh tiga anaknya di dalam kamar mandi rumahnya, Senin (15/1) sekitar pukul 21.00 WIB. Awalnya tersangka membunuh anak bungsunya dengan cara menenggelamkan bayi 4 bulan itu ke dalam bak mandi.
Setelah itu, Evy mencekoki anak pertama dan ke duanya dengan obat nyamuk cair hingga tewas. Tersangka kemudian mencoba bunuh diri dengan meminum racun yang sama. Beruntung kondisinya yang sempat kritis, berhasil diselamatkan. (Detik.com, 17/01)
Kapolres Jombang AKBP Agung Marlianto menduga motif kenekatan Evy Suliastin Agustin mengajak ketiga anaknya bunuh diri dengan menenggak racun serangga, Senin (15/1/2018) malam karena masalah asmara,
“Ini dugaan sementara. Ya ada permasalahan asmara. Karena selama tiga tahun terakhir, Evy tidak serumah dengan suaminya dan tidak dinafkahi,” jelas Kapolres Jombang, AKBP Agung Marlianto, Selasa (tribunnews.com, 16/1/2018).
Sungguh memprihatinkan! Seolah hari ini, naluri sebagian Ibu sudah mati. Berubah menjadi makhluk yang tak memiliki nurani, yang jelas lebih hina dari pada binatang! Bukankah tak ada binatang yang membunuh anaknya?
Tidak sedikit netizen yang menyangka bahwa apa yang menimpa Evy disebabkan oleh stress yang sering dialami Ibu-ibu yang baru melahirkan, atau lebih dikenal dengan baby blues. Stress tingkat akut, tidak ada yang membantu atau memberi suportt, ditambah dengan problem keluarga yang tak bisa diatasi, membuat sang Ibu kehilangan akal sehatnya. Juga membunuh nalurinya.
Sehingga tidak sedikit pula akhirnya, artikel dan puisi bertebaran di beranda putih biru yang intinya mengajak pada para netizen agar lebih berempati pada para Ibu-ibu yang baru melahirkan. Karena ibu yang baru melahirkan itu jiwanya sensitif. Jadi harus super hati-hati dalam memberi sikap dan komentar. Jangan sampai ada sosok-sosok Evy berikutnya karena ketidakmampuan kita dalam berempati.
Anggapan seperti itu memang bisa jadi benar. Meski tidak sepenuhnya benar. Sebab pada faktanya, kita akan senantiasa dihadapkan pada banyak masalah. Menyelesaikan masalah bukan tugas orang lain, tapi tugas kita sendiri. Empati dari orang lain tidak akan mampu menyelesaikan masalah kita. Perlu digaris bawahi, pernyataan saya ini bukan berarti saya menyepelekan pentingnya empati. Namun saya ingin menunjukkan bahwa kasus Evy bukan sekadar perlu empati.
Kalau dilihat dari motifnya jelas, di sana ada permasalahan keluarga yang tidak bisa diselesaikan Evy, sehingga ia memutuskan untuk membunuh anak-anaknya dan mencoba bunuh diri.
Sebetulnya, dari sini kita bisa mengambil pelajaran betapa pernikahan itu membutuhkan kesiapan, begitupun menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu, itu diperlukan kesiapan. Maka ada pernyataan bahwa pernikahan bukanlah sekedar romantisme itu betul sekali. Akan ada banyak permasalahan yang dihadapi ketika sudah berkeluarga. Apalagi sudah ditambah dengan hadirnya anak, masalah pun kian jadi rumit. Namun ketika semuanya sudah diprediksi dari awal, sebelum kita benar-benar menikah dan punya anak, kita pun sudah menyipakan ilmu untuk menghadapi setiap masalah yang mungkin muncul, maka masalah apapun tidak akan membuat kita panik dan stress.
Bukankah Allah melarang kita dari sikap putus asa? Dimana keimanan kita kepada-Nya? Bukankah Allah sudah menjanjikan bahwa setiap masalah yang kita hadapi pasti akan ada jalan keluarnya?
Jadi kalau mau menikah itu betul-betul harus siap. Siap jadi istri, siap jadi Ibu. Komentar negatif dari orang lain tidak akan mempengaruhi mentalnya. Sebab ia berbuat bukan karena orang lain, melainkan karena Allah swt. Meski dia punya banyak anak dan baru melahirkan, mendapat banyak komentar yang tidak enak, dia akan tetap kuat.
Jadi, silahkan bagi yang mengajak teman-teman untuk bersikap lebih empati. Sebab empati pun sesuatu yang penting. Namun saya akan mengajak para istri, para Ibu yang baru melahirkan agar mereka kuat! Jika ada masalah, maka tersenyumlah, sebab Allah telah memberi kita kesempatan untuk bersabar. Bukankah pahala sabar itu tidak terbatas?
Jadi, faktor penyebab yang pertama adalah faktor internal si Ibu.
Kedua, faktor masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah sikap empati. Peduli. Saling memberi nasehat. Yang saat ini masih langka. Sebab masyarakat yang ada masih cenderung individualis, ciri khas masyarakat di dalam negara kapitalis sekuler. Jiwa mereka pun jadi sadis, maka kalau komentar bikin para ibu-ibu jadi pada nangis. Allahu alam. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.