Oleh: Yusuf Maulana
ADA satu tajdid yang lucu di desaku, yang menyadarkanku bahwa ternyata kekentalan hubunganku dengan penduduk desa masih amat kurang. Tersebutlah seorang kyai yang haus akan tajdid, sehingga selalu sibuklah ia mengembarai berbagai lapangan paham Islam.
Sayang sekali, landasan kehausan tajdidnya bukan suatu sikap mandiri yang mementingkan penggunaan akal sehat serta kebersihan hati serta keluasan wawasan. Dalam pengembaraannya itu, ia selalu hanya terseret-seret belaka oleh satu faham ke paham lain. Begitu terjadi berulang-ulang, dan hasil pengembaraannya itu biasanya langsung diungkapkan lewat khotbah-khotbah Jumat atau pada kuliah subuh—kesempatan satu-satunya ia bersedia bertatap muka dengan khalayak.
Pertama, menjadi bingunglah para jamaah karena diombang-ambingkan. Tapi lama-kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi ‘hafal’ lagak lagu sang kyai dan tak begitu gampang terpengaruh. Menjelang shalat Jumat, bahkan orang-orang saling bercengkerama dan meramal apa kira-kira yang akan diomongkan oleh sang kyai. Hal yang digasak adalah hal yang biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini digembar-gemborkan, bulan depan mungkin akan digasaknya kembali.
Dari satu sudut: itulah potret dari semangat pembaharuan yang dinamik, penuh gelombang dan kontinu. Tapi, dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah pribadi yang mengembara di atas udara, tanpa pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas akal sehat dan kematangan kejiwaan.
Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi untuk hal-hal yang menyangkut ‘gengsi moderen’, orang desa amat gampang terseret. Merangsang mereka untuk mengkonsumsi ‘identitas-identitas kemoderenan’, semudah makan kacang goreng. Jadi, ketika berkat suatu usaha tajdid, sang kyai membeli dan memelihara anjing, maka segera inovasi ini diikuti oleh puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja ada kira-kira 40 anjing. Memelihara-anjing itu betul-betul kenikmatan baru: “kayak yang di tv!” Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada seekor saja nongol di desa, mampuslah ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup jauh terhadap hal ini, karena harus ditemukan persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu di desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks yang tak beres dengan tajdid peternakan anjing itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah seorang penduduk. Hakim paling kuat untuk muslimin desaku ini ialah ukuran halal-haram.
“Kata Pak Kyai, memelihara anjing itu tidak haram,” ungkapnya.
Jadi, itulah sumbernya. Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara anak yatim itu bukan hanya tak haram, bahkan penuh pahala dan keluhuran. Padahal, biayanya tak lebih mahal dari memelihara seekor anjing, sementara seorang anak yatim bisa memberi kita manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara anjing memang boleh-boleh saja, seperti juga kita boleh siang hari bolong merangkak dari gardu sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung sana. Tapi, agama bukan sekadar soal boleh dan tak boleh. Halal haram itu garis batas, yang tidak kita injak atau harus kita hindari. Seperti main sepak bola, ada garis pinggir, ada garis untuk penalti dan offside, juga tangan kita termasuk ‘daerah haram’ untuk bola.
Tapi, masalah sepak bola yang paling utama ialah bagaimana bermain bola secara baik, bukan bagaimana tak memegang bola atau berlari menginjak garis pinggir. Garis batas itu menjadi wilayah permainan kita, namun yang penting ialah bagaimana mengolah suatu permainan yang baik. Engkau tidak diharamkan main sepak bola sambil pakai peci atau sambil makan ketela, tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat dan mudharat. Untuk itu, maka kita bermain pakai celana pendek dan bukan sarung.
Memahami mana garis batas dan liku-liku peraturan main bola tidak sukar, dan yang terutama kita usahakan bagaimana mentalitas bermain. Bagaimana teknik dribbling pribadi serta metode kerja sama sosial. Bagaimana menemukan ‘taqarrub’ terhadap gawang secara baik sehingga kita menang dan gol kita ciptakan dengan menggetarkan jaring-jaring surga. Itulah sepak bola hidup.
Ia kemudian mengemukakan anjing itu nanti bisa dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka kuingatkan bahwa kita dulu punya tradisi ternak kambing, kerbau, sapi. Sekarang ini, kambing atau sapi lebih menguntungkan dibanding anjing. Dan lagi, apakah penduduk desa kita ini akan menjadi pendorong pertumbuhan manusia-manusia pemakan anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di sana berkata: “Di mana cari anjing untuk pesta kita? O, di Mentoro pusatnya!”
Tapi, ia kemudian mengemukakan soal segi keamanan. Anjing cepat memberi tahu kita kalau ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk itu? Tidak. Dan orang-orang lain? Tidak juga. Kukemukakan kepadanya bahwa seorang muslim yang Islamnya baik, insya Allah terhindar dari bahaya seperti itu. Setiap saat, napas dan detak darah kita bisa kita biasakan memohon kepada Allah. Bismillahi laa yadhurru ma’asmihii syai-un fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii ’ul-’aliim.
Tirulah Ayyub yang berkata, innii masanidha-dhurru wa-anta arhamur-raahimiin. Semoga Allah pun berberkendak fastajabnaa lahuu, fakasyafnaa maa bihii min dhurrin. Atau, kenapa tak kita lingkari lingkungan hidup kita dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat lainnya? Kita sudah baca shalawat untuk Nabi tiap hari, bukan? Nah, kita perbanyak jumlahnya dan kita perdalam kekhusyukannya. Semoga Nabi pun mengirim salam kepada kita, karena beliau adalah Rasuulun min-anfusikum ’aziizun ’alaihi ’anittum hariitsun ’alaikum bil mu’miniina ra’uufur-rahiim. Atau dengan begitu banyak lainnya ayatullah yang mahasakti, yang apabila ia dibacakan maka suyyirat bihil-jibaalu au quthi’at bihil-ardhu au kullima bihil-mautaa.
Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian mukjizat Al-Qur`an? Ia tidak hanya sakti segala kesastraannya saja, tapi juga sakti dan mahabenar segala dimensinya. Ia adalah karya Allah, sehingga segala yang difirmankan-Nya laa raiba fiihi. Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan hujan diperkenankan turun oleh istisqa’ kita bersama. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Kalau Ia mau, Maa amarnaa illaa waahidatun kalahmin bil-bashor.
Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan pengemis yang tak punya otak atau rasa malu. Untuk urusan kacang goreng atau masalah-masalah rasional kecil lainnya tentulah kita bereskan sendiri secara manusia. Kita tidak lantas meminta agar segala urusan kita Allah yang mengurusnya. Kita bukan anak sekolah yang kurang belajar maksimal dan hanya mengandalkan doa dan sesudah terkabul lantas lupa bersyukur.
Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak bisa hanya mentamengi diri dengan mukjizat Al-Qur`an apabila secara keseluruhan AI-Qur`an tak kita laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi Al-Qur`an berarti Al-Qur`an ‘enggan’ menyatu dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk menyatukan diri dengan Al-Qur`an, dan dengan demikian kita juga tak bisa menghayati kesaktian ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat Al-Qur`an itu ibarat genteng yang melindungi seisi rumah kita dari hujan. Artinya, kita tahu bahwa genteng tak bisa kita taruh di udara. Mesti kita bangun fundamen, dinding, kayu penyangga genting itu, serta tiang pusat.
Nah, kukemukakan kepada saudaraku di desa itu, bahwa umumnya kita di desa ini sudah cukup membangun fundamen, tiang pun sudah cukup berdiri. Tinggal kita sempurnakan kekuatannya semua, sehingga bisa kita taruh genting untuk melindungi kita dari hujan. Jika demikian, maka insya Allah kita bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi juga segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan dari sihir dan fitnah. Kenapa tidak? Allah Mahabenar bahwa ia Maha Melindungi. Cuma barangkali saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah itu masih berupa tumpukan genting, yang mubazir, karena kita tak menggunakan hikmahnya.
Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu ashar segera tiba, dan kami beranjak sama-sama ke surau. []
Dikutip dan disunting dari tulisan panjang berjudul “Hal Tajdid: Dari Beduk sampai Anjing”, dimuat di majalah Panji Masyarakat No 415 – 1 Desember 1983 halaman 24-25