SEBAGAI ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikap Buya.
Presiden Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno.
Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan.
Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara.
Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada Buya.
Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku…”
Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu.
Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…” []
Sumber: Belajar Memaafkan dari Buya Hamka/Oleh: Artawijaya