Oleh: Rinidiyanti Ayahbi
TAK pernah terbayangkan, langkah-langkah kaki ini sudah tersurat. Embusan napas, kelopak mata mengerjap per detik pun termaktub di dalamnya. Apalagi detak jantung, di sana mengalir darah kehidupan. Ada ruh mengisi jasadku. Aku seorang manusia diberi gelar oleh-Nya, mulia. Apakah benar mulia?
“Aaaw, panaas!” Lilin yang baru saja kunyalakan, kemudian kupegang, ada yang meleleh tepat di atas tangan. Kukibaskan tanganku berusaha menghilangkan rasa perih. Ada tanda merah di sana. Seketika lupa.
“Ah, lampu pake mati lagi. Hp lowbat, lap top juga sekarat!” Aku mendengus kesal seraya menghempaskan tubuh ke ranjang. Bruk! Seketika lupa, bohlam mati padahal di sudut lemari ada yang bercahaya.
“Kurang kerjaan yang matiin lampu! Kerjaan banyak deadline niih, gimana mau dapat bonus kalau kayak gini!” Sabar menghilang, wajahku merengut, merutuk sendirian. Bohlam mati, seakan dunia juga ikut mati. Seketika lupa, ada yang mengurus segalanya, segala isi dunia. Bahkan tak pernah luput sedikitpun.
Aku melirik arloji. “Jam 9 malam. Mau ngapain kalau gelap begini?” Seketika lupa, belum ada bilur-bilur bening suci yang diusap sesuai perintah. Bahkan sejak fajar hingga gulita. Seketika lupa, kepala sama sekali belum menyungkur tanah menghamba.
“Mending tidur ajalah!” Kupeluk guling, sesekali menepuk kaki, tangan dan pipi karena nyamuk asyik mengerubungi. Seketika lupa kembali.
Tak lama aku mendengkur, tak sadar semakin menjauh malah ngelindur. Tak pernah berpikir bagaimana langkah ini kubuat agar segera berlari berpacu meninggalkan nafsu. Ah, besok saja … ah, besoknya lagi saja. Alasan banyak sekali. Aku pura-pura tak tahu sensasi luka bakar itu seperti apa, padahal lelehan lilin mampu membuat bibir ini berteriak nyeri. Tak pernah bertanya mengapa luka bakar yang diberi? Mengapa bukan luka yang lain?
“Hhh … hhhh!” Aku terkejut terbangun karena mimpi buruk. Rambutku digantung hingga keluar isi otak. Rantai besar hitam mengikat leher, kaki dan tanganku. Api menjilat-jilat di tiap lembar kulit. Bunyi gemeretak lalu pyaaar! Seluruh tubuhku pecah. Jantung berdetak tak beraturan. Aku berusaha mengatur napas karena gemetar. Mimpi apa ini? Mata mengerjap mencari cahaya, gelap. Rupanya lilin tadi habis. Aku meraba dalam gelap, mencari lilin yang lain dalam laci meja. Ada satu, segera kunyalakan. Sial! Lelehannya mengenai tanganku lagi. “Nyeri tahu!” Bibir ini merutuk lagi.
Karena gemetar masih menguasai akibat mimpi tadi, aku tak sengaja menabrak meja, ada sesuatu yang terjatuh. Kucoba tengok dengan bantuan cahaya lilin, ternyata kitab suci. Kucoba meraihnya dengan tangan kiri, namun naas, lilin yang kupegang tadi bertemu tirai panjang di sebelah meja. Jadilah, maka jadilah. Api menjilat-jilat tirai, menyusul ranjang empuk menjadi hangus. Buku-buku menjadi hitam hancur berubah abu.
Aku hanya berteriak-teriak meminta tolong,” Yaa, Allah! Allaah, Allaaah?!” Kini lupa menjadi ingat. Luka bakar itu kini kurasakan di dunia. Akankah ruh berpisah dari jasad? Aku ingat sekarang, kematian tak mengenal besok saja atau lusa. Aku kini ingat semua. Bilur-bilur bening keluar dari ke dua mataku menahan sakit yang luar biasa. ALLAAAH!! []
Jakarta, 2015