Yusuf Maulana
DALAM perjalanannya, madrasah Nizamiyah pernah mensyaratkan profesor hukum (mudarris), penasihat (wa’izh), dan pustakawan (mutawalli al-kutub) dalam fikih dan ushul fikih harus berasal dari mazhab Syafi’i. Ini sudah dimaktubkan dalam akta wakaf Nizamiyah, demikian dikutip dari buku George Abraham Makdisi (2000), Cita Humanisme Islam.
Dalam buku berjudul asli The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West itu, al-‘Ukhbari disebut penulis sebagai sosok yang memilih bergeming, tetap dalam pendirian mazhab yang dianut, ketimbang melepaskannya untuk menjadi pengajar di Nizamiyah. Al-Ukhbari pada masa itu dikenal sebagai ahli bahasa terhebat yang juga menguasai kajian Quran, fikih, nahwu, hukum waris, dan musik. Ia adalah pemuka Hanbali yang mengawali kariernya sebagai asisten pengajar (mu’id) ulama besar mazhabnya, Ibn al-Jauzi.
“Pindahlah ke mazhab kami, dan engkau akan mengajar nahwu dan leksikografi,” ujar seorang utusan dari mazhab Syafi’i pada al-‘Ukhbari.
Al-‘Ukhbari enggan mengikuti ajakan tersebut. “Seandainya Anda bersikukuh menawarkan kemewahan kepada saya agar saya berpindah mazhab, saya sungguh tidak akan berubah putusan.”
Apa salahnya berbeda mazhab yang masih sama-sama Ahlus-Sunnah? Toh bila urusan penghidupan jadi motivasi, belum tentu masuk dalam larangan agama, apatah lagi al-‘Ukhbari seorang yang tunanetra. Demikianlah pelajaran ketegaran dan ketegasan untuk tak mudah berpaling hanya karena sinaran kemungkinan perubahan yang lebih baik di tempat lain.
Putusan al-‘Ukhbari dalam hal bersetia di mazhab Hanbali ini, tak berbeda dengan keteguhan sang guru, al-Jauzi. Kala itu, berpindah mazhab sebagaimana mazhab anutan penguasa merupakan fenomena biasa di kalangan ulama. Sayangnya, setia di mazhab yang dianut pun mengalami ujian berikutnya. Al-Jauzi, sebagaimana disebutkan Majid Irsan Kaylani dalam Kebangkitan Generasi Shalahuddin, malah menjadi sasaran kedengkian kolega semazhabnya. Ini dikarenakan talenta dan kapasitas al-Jauzi sungguh mengagumkan hingga sang Khalifah pun menaruh hormat sedemikian rupa. Rupanya di mazhabnya ada sebagian ulama yang iri hati atas keistimewaan al-Jauzi. Di sisi lain, para pemuka mazhab di luar Hanbali pun berupaya menariknya.
Dalam posisi di tengah mazhabnya ada umbar dengki, sementara di luar sana ada tawarkan menggiurkan untuk jadi pemuka yang terpandang tanpa ada gejolak serupa, penulis Shaid al-Khathir itu berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena Ahmad (Ibn Hanbal) dan Wazir Ibn Hubairah, niscaya aku telah pindah dari mazhab ini. Seandainya aku ini seorang Hanafi atau Syafi’i, niscaya para pengikut mazhab itu akan mengangkatku sebagai pemimpin mereka.”
Berpindah mazhab karena hasil sebuah penelusuran mendalam, amatlah lumrah dan biasa saja dalam khazanah sejarah Islam. Tapi dalam masa tertentu, perpindahan mazhab menjadi hal jamak ketika godaan pemegang kekuasaan menarik hati sedemikian rupa. Bukan soal ekonomi belaka, melainkan juga keleluasaan dan keluasan akses dan percepatan karier keilmuan bersama mazhab barunya. Ketika perpindahan itu semata karena urusan penghidupan, seorang alim akan serta-merta mendapat kritik tajam dari kolega hingga murid-muridnya. Semisal yang diterima Wajih al-Din al-Wasithi.
Al-Wasithi merupakan teman semasa dan semazhab dengan al-‘Ukhbari. Ia juga dikaruniai potensi luar biasa dengan kondisi tunanetra pula. Ketika ia berpindah-pindah mazhab, seorang anak didiknya menyindir dalam sebuah bait, sebagaimana dikutip dari karya Makdisi yang sama:
Siapa yang mau menyampaikan pesan ini kepada Wajih,
Meski pesan ini tidak enak didengar?
Dulu engkau Hanbali, kini beralih menjadi Hanafi,
Apakah engkau melakukannya karena kelaparan?
Lalu engkau menjadi Syafi’i, pun bukan karena ketulusan,
Tapi karena engkau menghendaki pekerjaan.
Ingatlah kata-kataku! Pasti engkau akan menjadi Maliki!
Kita tak perlu mencibir putusan al-Wasithi, kondisi fisiknya harus ditimbang seiring kegigihan menyebarluaskan ilmu. Biarlah Allah yang menjadi penilai amal bajiknya dan jerih payahnya yang telah melahirkan banyak kader alim. Toh tuduhan sang murid dalam bait tersebut bisa saja sekadar gundah, rasa kehilangan, selain tentunya peringatan dan saran bagi alim yang lain.
Lalu bagaimana hari ini di tengah kita, khususnya? Apakah berpindah mazhab itu karena akses yang lebih baik dipergunakan bagi kemaslahatan dan kemajuan agama ini? Atau semata-mata demi perbaikan ekonomi pribadi dan keluarganya belaka? Atau berpindah karena alasan musim politik belaka, yang ketika musim itu berubah maka berubah pula pemihakan seorang alim? []