DALAM sebuah training motivasi, saat masih menjadi member sebuah MLM, diceritakan sebuah kisah seorang pragawati terkenal. Dalam sebuah wawancara, si pragawati yang telah malang melintang di dunia catwalk selama sepuluh tahun itu, ditanya makanan kesukaannya.
“Ice cream!” jawabnya lantang.
Sang wartawan terkejut, bagaimana mungkin makanan kesukaannya adalah ice cream sedang tubuh sang pragawati begitu langsing dan proporsional.
“Kapan Anda terakhir menikmati makanan kesukaan Anda?” tanya si wartawan sungguh penasaran.
“Sepuluh tahun lalu…” jawab si peragawati. Si wartawan terkejut. Sungguh sebuah pengorbanan yang luar biasa.
Begitulah. Untuk urusan dunia yang sementara seringkali kita memburunya mati-matian. Mengorbankan apapun. Apapun.
Akhir-akhir ini, banyak yang bertanya mengapa saya kuliah melenceng dari disiplin ilmu saya sebelumnya.
Mengapa mesti bahasa Arab? Bukan melanjutkan S2 teknik Sipil saya tanya mereka.
Mengapa mau berpayah-payah kuliah setiap hari? Merepotkan diri dengan ilmu baru yang hampir tak bersentuhan sebelumnya. Apalagi bahasa Arab itu rumit. Dibutuhkan usaha yang luar biasa.
“Tujuh belas tahun, waktu yang saya habiskan sejak SD hingga kuliah sudah cukup mengejar ilmu dunia…” kataku.
Di sekolah umum, pelajaran agama hanya seminggu sekali. Bahkan saat kuliah, seminggu sekali itu hanya di semester awal saja.
Bukankah akhirat kekal adanya? Sementara rasanya bekal saya hampir-hampir tak ada.
Ya, bisa jadi rutinitas kuliah kali ini begitu melelahkan, terasa lumayan sulit. Hari-hari begitu ketat. Padat hafalan. Bahkan menurutku sungguh jauh lebih ‘gila’ dan berat dari kuliah di teknik dulu.
Namun, jika rutinitas itu akhirnya dirimu bisa menghafal surah-surah dalam Qur’an. Kau bisa menghafal hadist-hadist. Belajar mengaji lagi. Dekat dan kenal dengan bahasa penduduk syurga : bahasa Arab.
Bukankah ini patut dikerjakan mati-matian? Setidaknya bagi saya: iya. []