MALAM ini aku tak bisa tidur. Padahal sudah pukul 11.20. Adikku sudah mendengkur hebat di kamarnya. Aku menengok tudung saji di meja makan. Kosong. Tempe mendoan yang tersisa tiga biji setelah makan tadi, raib digondol tikus. Dapur berubah menjadi berantakan sekali. Duh, masa iya malam-malam harus rapi-rapi?
Kesal benar aku. Tak bisa tidur sungguh menyiksa. Ya! Menahan letih dan menahan lapar… tapi yang paling menyiksa adalah menahan sepi.
Sepi adalah bagian dari hidupku. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, kami–aku dan adikku– bagaikan dua anak tanpa orang tua. Tak kutemui Ibu di dapurku. Tak kutemui ayah di ruang tamu. Ah! Kau, tudung saji adalah sumber kebahagiaanku. Kadang-kadang aku berpikir di sanalah bukti aku masih punya ibu.
Akan ada makanan disana. Bukti bahwa ibulah yang memasaknya. Entah kenapa aku tak curiga kalau itu makanan dari tetangga. Tidak ada tetangga yang mengirim makanan jam 5 subuh bukan?
Kadang aku berpikir apakah seorang ibu hanya bertugas memasak nasi atau menyiapkan roti? Seorang ayah membaca koran dan meminum kopi? toh ternyata itulah yang selama ini aku temui.
Aku marah berkali-kali, karena mereka hanya jadi dongeng bagiku. Aku kesal bertubi-tubi karena mereka menelantarkanku. Jangankan untuk berkata I Love You berpikir mereka ada aku ragu.
Aku pusing lagi-lagi. Mendengar adikku merengek ingin bertemu mereka. Dan aku tidak tahu harus berjumpa di mana. Adalah aku manusia bodoh yang dalam usia ke-20 belum tahu di mana orang tua bekerja.
Tak ada hal basa-basi di antara kami.
“Uang kamu masih ada…?”
“Apakah kamu lulus ujian…?”
Bosan sungguh mendengarnya. itu-itu saja yang mereka katakan. Kenapa mereka tidak bertanya,
“Kenapa kau murung hari ini?”
Ah! Itu sangat tak masuk akal, bagaimana mereka tahu aku murung, toh mereka tak pernah ada di rumah. Ya… entahlah mereka itu orang tua macam apa.
“Brum….”
Tunggu kupikir itu suara mobil ayahku. Ah! Benar ternyata. Mereka berdua sudah tiba. Tepat pukul 12 malam. Apakah selarut ini mereka pulang? Pantas saja aku tidak pernah bertemu dengannya. Gila saja, segini malamnya. Waktu tidurku paling lambat hanya pukul 10 malam.
Tidak! Mereka membukakan pintu. Oh my god! Aku harus pura-pura tidur sekarang juga.
***
“Say, kenapa dapur kita berantakan sekali?”
“Sudahlah, biar aku bereskan sebentar lagi…”
“Tidak usah, biar besok saja dibereskan. Hari ini istirahat saja, kita sudah sama-sama lelah.”
“Hem… ini sudah kwajibanku kan? Besok aku takut tidak sempat membereskan, bisa jadi kita malah terlambat.”
Sreeekkk…
“Dia sudah tidur…”
“Ya…”
“Dia cantik sekali… anak kita sudah dewasa.”
“Kau selalu saja begitu, Say.”
“Apa?”
“Setiap malam kaudatangi kamar anak-anakmu lalu kau menciumnya. Ini adalah ciuman… tunggu biar kuhitung… 7.850 kali untuknya. Tidak, tidak… pasti lebih dari itu, kau kan sering menciumnya ketika bayi… dan kau masih melakukan hal yang sama sampai sekarang ini.”
“Kenapa? Kau iri pada anakmu sendiri?”
“Hei… tidak-tidak. Seharian aku telah mencurimu dari mereka, kenapa aku harus iri?”
“Hem… kau tahu itu.”
“Sesungguhnya aku sedih, aku hanya bisa menciumnya, mengecup keningnya setiap malam. Kau tahu bahkan aku melakukannya saat ia tidur. Nyatanya aku tidak bisa melakukannya saat ia membuka mata.”
“Kau…kau sungguh…”
“Jika kau berpikir demikian, aku malah ragu.”
“Maafkanku telah merampasmu.”
“Sudahlah, ayo kita keluar… aku takut anak kita malah terbangun.”
***
Aku menyentuh keningku. Basah. Dan kuyakin ini bukanlah keringat. Noda merah menempel di jariku. Kata-kata tadi terus terngiang di telingaku. Membuat mataku panas. Dan hujan membasahi pipiku kemudian. []