DUNIA dengan segala tipu dayanya mampu menyilaukan manusia. Demi kesenangan dunia orang-orang rela menyerahkan segalanya, bahkan kehilangan iman mereka sekalipun. Padahal pada hakikatnya dunia begitu rendah, bahkan terkutuk. Namun bukan berarti tidak boleh berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarga.
Demikian pula perintah zuhud terhadap dunia, bukan artinya tidak perlu bekerja dan berusaha. Akan tetapi, maksudnya ialah tidak bergantung pada dunia. Dengan kata lain, hati kita jangan berambisi dan sepenuhnya mengejar dunia, meninggalkan urusan akhirat. Gelisah jika hartanya berkurang, gembira bila hartanya bertambah, lalu melampaui batas ketika melihat dirinya telah merasa kaya.
Mungkin akan muncul pertanyaan, kapan seseorang dikatakan zuhud, padahal dia mempunyai uang ratusan juta rupiah?
Imam Ahmad pernah ditanya tentang hal semacam ini. Beliau menjawab, “Ya. Dia dikatakan zuhud, walaupun mempunyai uang seratus ribu (dinar), dengan syarat, dia tidak merasa gembira ketika uang itu bertambah, dan tidak bersedih hati ketika uang itu berkurang.”
Akan tetapi, siapakah yang mampu bersikap demikian?
Semua orang mampu melakukannya. Apabila harta itu dijadikan bak ‘toilet’ dalam pandangan kita, yang tentu saja hanya didatangi ketika ingin buang hajat, dalam keadaan di hati kita tidak mungkin ada cinta dan terpaut kepada tempat najis tersebut.
Karena itu, ketika hati merdeka untuk Allah SWT, bukan berstatus sebagai budak dinar dan dirham, serta harta dunia lainnya, saat itulah usaha menambah harta tidak akan memudaratkannya.
Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat.” (QS. An-Nur: 37)
Dari Ibnu Mas’ud ra, dia melihat sebagian pedagang di pasar, ketika dipanggil untuk shalat wajib, segera meninggalkan dagangan mereka dan bangkit. Melihat hal itu, berkatalah Abdullah, “Mereka inilah orang-orang yang sebutkan dalam Kitab-Nya:
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingati Allah.” Seperti itu pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar ketika berada di pasar, kemudian diserukan iqamah, mereka menutup kedai-kedai mereka lalu memasuki masjid. Kata beliau, “Tentang merekalah ayat ini turun.” []
SUMBER: https://www.atsar.id/2016/05/buah-kedermawanan.html