JAKARTA—Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan, tidak ada urgensi menghidupkan pasal Penghinaan Presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang digodog oleh DPR dan Pemerintah saat ini.
Menurut Bivitri, pasal tersebut melanggar nilai-nilai demokrasi.
“Sebenarnya pasal itu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK (Mahkamah Konstitusi) melalui putusan nomor 013-022/PUUIV/2006,” ujar Bivitri, Rabu (7/2/2018).
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu menganggap pasal itu sudah tidak relevan dengan demokrasi dan negara hukum modern. Bahkan, kata Bivitri, di negara-negara Monarki di Eropa, pasal itu sudah ditinggalkan, meskipun masih ada dalam perundang-undangan mereka. Sebaliknya, di Indonesia malah dihidupkan lagi.
“DPR dan pemerintah sudah melanggar prinsip penting dalam negara hukum dengan mengabaikan putusan MK,” tuturnya
Seperti diketahui, DPR saat ini sedang membahas revisi KUHP. Adapun dalam draf revisi tersebut tercantum Pasal 263 ayat 1 yang berbunyi Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. []
SUMBER: SINDONEWS