KITA ketahui bahwa perempuan pun bisa menjadi imam. Hanya saja, banyak ulama yang tidak membolehkan perempuan menjadi imam lelaki. Maka, sah-sah saja jika seorang perempuan mengimami perempuan lainnya. Dan memang, alangkah lebih baik jika shalat dilaksanakan secara berjamaah. Jadi, ketika bisa berjamaah, maka lebih baik lakukanlah.
Dalam melaksanakan shalat secara berjamaah, kita seringkali melihat ada perbedaan dalam pelaksanaan shalat berjamaah yang dilakukan kaum perempuan. Posisi imam perempuan, ada yang berada sejajar dengan makmum, ada pula yang di depan makmum. Lalu, bagaimana posisi imam perempuan yang benar?
Mengenai posisi imam perempuan, ada yang berpendapat bahwa imam perempuan mesti berada di tengah-tengah makmum, sejajar dengan mereka. Sementara ada yang berpendapat bahwa imam perempuan sama saja dengan imam laki-laki berdiri di depan makmum.
Hal ini berdasarkan dua hadis sebagai berikut,
Dari Ummu Waraqah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Telah memerintah Rasulullah kepadanya (Ummu Waraqah) mengimami penghuni rumahnya (perempuan),” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad)
“Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pernah mengimami perempuan, dan ia berdiri bersama mereka dalam satu shof,” (Fiqih Sunah, Sayid Sabiq, 1: 113).
Pendapat pertama, pendapat yang mengatakan bahwa sejajar. Dibolehkan bagi seorang perempuan mengimami jamaah kaum perempuan. Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Ummu Waraqah binti Abdullah Bin Al-Harits Al-Anshari dan ia pernah ikut mengumpulkan Al-Quran. Dan Nabi ﷺ pernah memerintahkan kepadanya untuk mengimami shalat keluarganya (kaum wanita), ia mempunyai tukang adzan dan ia menjadi imam di rumahnya.”
Jika seorang perempuan mengimami shalat jamaah kaum perempuan maka ia berdiri di tengah-tengah shaf pertama dari mereka. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Al-Baihaqi bahwa Aisyah dan Umu Salamah pernah mengimami kaum perempuan dan mereka berdua berdiri di tengah-tengah mereka.
Demikian juga disebutkan dalam fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz, “Dan imam perempuan mereka (para perempuan) berdiri di tengah-tengah mereka pada shaf yang pertama,” (Majmu Fatawa Bin Baz, 12: 77).
Pendapat kedua, imam laki-laki dan perempuan mempunyai ketentuan yang sama, yaitu berdiri di depan makmum. Kecuali bila makmumnya hanya satu orang, maka makmumnya berdiri di sebelah kanan imam, sejajar.
Adapun arti kata “shaf” ialah garis. Umpamanya, bereskan shaf kalian, bereskan garis kamu. Jadi jika ada keterangan berdiri di tengah-tengah mereka dalam shof, tidak berarti imam sejajar.
Ibnu Hazim dalam al Muhalla (4: 220) menjelaskan kata-kata “al-shaf” ini. “Sama sekali tidak mengetahui (mendapatkan) keterangan (hujjah) untuk melarang perempuan bediri di depan, dan hukumnya menurut pendapat saya, ia berdiri di depan makmum perempuan.”
Dalam kitab Subulus Salam diterangkan, “Apabila mereka (perempuan) shalat dan imamnya perempuan, maka shaf mereka seperti laki-laki (imamnya laki-laki), yaitu shaf-shaf yang paling utama adalah shaf pertama.”
Imam Syafi’i menyuruh supaya imam perempuan sejajar dengan shaf pertama. Namun Imam Syaifi’i sendiri menjelaskan dalam Al-Um 1: 145 (kitab pokok Imam Syafi’i), “Apabila seorang perempuan (imam) berdiri di depan perempuan (makmum), maka shalatnya (imam) dan yang di belakangnya (makmum) sah (memadai).”
Dalam hadis riwayat Abu Daud, Rasulullah ﷺ memerintahkan, “Washshitu Imama (Tempatkanlah imam di tengah-tengah).” Perintah tersebut tidak berarti bahwa imam laki-laki dan perempuan di tengah-tengah sejajar dengan makmum. Tetapi, Muqobilun Li Wasthi Ash-Shofi (searah dengan tengah-tengah shaf makmum (Lihat, Bustanu al-Akhbar, 1: 254, Risalah Wanita, hal. 78-81).
Jadi, tak ada keterangan khusus yang menunjukkan bahwa seorang imam perempuan berada dalam posisi sejajar ataukah di depan makmum. Setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing. Dan setiap pendapat terdapat sumber yang shahih untuk dijadikan rujukan. Maka, mau sejajar atau di depan makmum, maka kembali lagi kepada keyakinan diri kita. []
SUMBER: REFERENSI MUSLIM