DIKISAHKAN, di sebuah kolam yang airnya berlumpur, tumbuh di sana pohon bunga teratai muda. Suatu hari, saat daun teratai membuka mata memulai sebuah hari, dia merasa takjub dengan alam sekitarnya. Dan tiba-tiba si daun teratai merasakan, di atas hijau daunnya ada setitik embun yang hinggap begitu lembut dan bening. Dengan ceria disapanya si embun,
“Hai kamu, engkau siapa? Dari mana datangmu, kok tiba-tiba ada di atas punggungku?”
Si embun pun menjawab, “Aku biasa dinamakan embun. Saat menjelang pagi, di alam semesta ini mengandung uap air yang terbawa hembusan angin dan menciptakan titik air yang menjadikan seperti diriku sekarang ini.”
“Wah, aku senang sekali bisa bertemu dan ditemani kamu,” kata si daun teratai.
“Maaf, teman. Aku tidak bisa menemanimu berlama-lama. Karena bila sebentar lagi matahari mulai bersinar, aku pun harus segera pergi,” jawab si embun.
“Kenapa mesti pergi? Tetaplah di sini, bersahabat denganku.”
“Bukan aku tidak mau, tetapi begitulah sifat alam. Setiap embun di pagi hari sebentar kemudian segera menguap bila tertimpa sinar matahari.”
Sesaat sang matahari mulai terik. Daun teratai pun memohon, “Tolong tetaplah di sini embun, jangan pergi.”
Namun, secepat itu pula si embun harus berlalu.
Keesokan harinya, saat daun teratai memulai hari, dia begitu gembira melihat sahabatnya kembali berada di punggungnya. Dia pun menyapa riang, “Hai sobat, kita berjumpa lagi!”
Si embun balas berkata, “Hai juga! Maaf, kita belum saling kenal. Aku embun pagi.”
“Lho, bukankah kamu embun yang kemarin?”
“Bukan! Aku embun hari ini. Aku tidak ada hubungannya dengan embun yang kemarin.”
“Tapi engkau sama persis dengan embun kemarin. Tetes air yang lembut, bening, dan menyejukkan. Kenapa bisa berbeda?”
“Entahlah. Aku ada ya seperti inilah. Selalu baru dan segera pergi bersama dengan datangnya mentari pagi.” Dan tidak lama kemudian, embun itu pun segera menguap tertimpa sinar matahari.
Peristiwa serupa pun terjadi dari ke hari dan setiap hari daun teratai tetap tidak mengerti, mengapa embun yang sama setiap hari selalu tidak mengakui dirinya sebagai embun yang kemarin. Saat hari-hari berlalu terus hingga berganti bulan, si daun teratai pun berumur semakin tua; mulai terkoyak, akhirnya menguning, dan kemudian siap digantikan oleh tunas daun teratai yang baru.
Pembaca yang Budiman,
Sama seperti daun teratai dan tetes embun, setiap hari yang kita punyai seolah sama persis seperti hari-hari kemarin yang telah kita lalui. Sesungguhnya, setiap hari adalah hari yang baru; hari baru yang penuh dengan kesempatan baru.
Mari, kita nikmati setiap hari sebagai suatu harapan yang menggairahkan. Hari baru, yang patut kita syukuri sekaligus kita isi dengan bekerja keras, penuh gairah untuk mewujudkan setiap impian kita, sehingga memungkinkan kita menciptakan prestasi yang luar biasa, yang dapat kitakenang sebagai memori indah yang membanggakan. []
Sumber: AndreWongso