Oleh: Irfan Toni Herlambang
MALAM begitu indah. Bulan purnama bersinar terang. Bintang menempel di langit gelap. Tak ada angin nakal apalagi gelombang ganas. Hari yang baik untuk melaut. Karenanya, dua perahu nelayan tenang menjala ikan di laut lepas.
Perahu mereka bergoyang anggun seirama gemulai tarian laut. Dua orang nelayan di atasnya asyik dengan jalanya masing-masing. Mereka telah mendapat cukup banyak tangkapan. Tapi, tingkat kepuasan mereka tidak sama. “Aku ingin ikan lebih banyak. Pasti, kalau berlayar lebih jauh, aku akan dapat tangkapan lebih dari ini semua. Aku yakin di sana ikannya lebih besar,” teriak salah satu dari mereka.
Temannya balas berteriak. “Hei, jangan tamak. Ikan-ikan di sini sudah cukup besar. Perahumu pun tak cukup mengangkut semua ikan. Ingat, muatan kita terbatas dan bekal kita tidak cukup. Kita tentu tak mau kembali dengan perahu karam. Lihat, fajar tak lama lagi akan tiba. Ayo, pulang!”
Sayang, nasihat itu tak digubris. “Ah, dasar kamu pemalas. Kapalku akan kukurangi isinya sebagian,” katanya lantang. “Jadi, aku bisa melaut lebih jauh dan menangkap ikan yang lebih besar.” Nelayan tamak itu tak asal omong. Ia buang muatan kapalnya, termasuk ikan yang telah ditangkapnya. Dan ia pun melaju ke laut lepas, berharap menemukan ikan besar. Si nelayan tamak meninggalan kapal temannya sendiri.
Yang ditinggalkan kembali melanjutkan kerjanya. Benaknya dipenuhi gambaran gembira anak-istrinya menyambut jerih payahnya. Setelah merasa cukup, ia bersiap pulang. Sebelum menghidupkan mesin, ia pandangi laut lepas ke arah mana temannya pergi. Hening. Lamat-lamat matanya menangkap ada bias cahaya. Remang-remang. Siapa itu?
Dipacunya perahu ke arah cahaya itu. Ternyata, sahabatnya si tamak tadi. Ia terapung-apung di sebilah papan. Segera seutas tali dilemparkan ke arahnya. Dengan susah payah si nelayan tamak naik ke perahu.
“Apa yang terjadi? Mana perahumu?”
Pelan, si nelayan tamak mulai bicara. “Aku menyesal tak mengikuti nasihatmu. Aku memang dapat banyak ikan besar di sana, tapi karena terlalu banyak pandanganku terhalangi. Ada karang besar di depan. Perahuku menabraknya. Aku hanya bisa menyelamatkan pelita itu dan meraih papan itu,” ujarnya. “Terima kasih telah mau menolongku. Ah, aku sangat menyesal. Besok mungkin anak-istriku tak dapat rezeki….”
“Sudahlah,” hibur temannya. “Aku bisa membagi denganmu. Tangkapanku lebih dari cukup. Ambillah, semoga anak-istrimu bisa senang.”
Teman, siapakah si nelayan tamak itu? Bisa jadi itu diri kita. Sosok nelayan tamak itu adalah cermin sikap kita selama ini. Tamak, tak pernah puas, tak pernah bersyukur, dan bisa jadi, tak pernah ikhlas menerima setiap anugrah yang diberikan Allah. Kita selalu terbuai dengan “ikan-ikan besar” yang cuma ada dalam lamunan-lamunan kita dan menganggap kecil rezeki yang ada di tangan.
Apakah kita pernah merasa puas dengan yang ada di seputar dan telah berusaha mengambil berkahnya? Atau, “lautan jauh dengan ikan besar” itu telah membutakan mata hati kita? Itulah kita. Tak pernah merasa cukup dengan apa yang telah miliki dan memenuhi lambung “perahu hidup” kita. Akibatnya, sikap itu menghalangi pandangan kita untuk bersyukur pada Ilahi. Dan, tak bisa melihat pintu berkah terkuak dari setiap yang kita miliki.
Teman, sungguh “ikan-ikan kecil” yang kita miliki itu pintu keberkahan dari Ilahi. Hanya orang yang penuh dengan nafsu yang menganggapnya remeh. Dan, orang seperti ini akan celaka. Seperti nelayan tamak itu, ia lupa akan keterbataasannya. Ia lupa bekalnya tak cukup. Ia lupa kapalnya terlalu kecil untuk memuat semua “hawa nafsunya”. Dan, ia lupa selalu ada fajar memaksa kita berhenti mencari ikan: ajal! []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta