SAAT ini tak sedikit masyarakat kita yang berdebat mengenai lafadz niat. Ada yang mensunnahkan ada juga yang membid’ahkan. Lalu manakah yang lebih kuat antara keduanya?
Sebelumnya, yang harus kita pahami adalah mengenai niat itu sendiri. Niat dalam ibadah itu tempatnya didalam hati, bukan di lisan, artinya ketika hati ini sudah berniat maka sudah cukup baginya tanpa harus melafadzkannya lagi. Dan masalah ini telah disepakati oleh seluruh ulama sejagad raya ini termasuk ulama dari 4 mazhab fiqih, bahwa tidak ada syarat bahwa niat harus di lafadzkan.
Alasannya, karena memang Nabi SAW tidak pernah melafadzkan suatu niat dalam ibadahnya, beliau tidak pernah memulai suatu ibadah dengan melafadzkan niat. Hanya dalam ibadah haji saja yang harus dilafadzkan niatnya (niat ihrom), walaupun tetap niatnya dalam hati.
Masalah melafadzkan niat, ulama sendiri berbeda pendapat tentang masalah ini, apakah boleh seorang berniat dengan melafadzkannya? Ada ulama yang membolehkan dam ada juga yang melarang.
Dan ada juga yang membidahkan, dengan alasannya bahwa tidak ada dalil dari Al-Quran dan juga tidak ada penjelasanya dari hadits. Mereka juga beralasan bahwa niat itu termasuk ibadah yang tidak bisa asal dikerjain, kalau Nabi tidak mengerjakan, maka itu tidak boleh.
Namun ada juga ulama yang membolehkan, dan bukan sedikit, dan sudah pasti mereka berpendapat seperti itu bukan tanpa alasan, bahkan dari mereka ada yang mensunnahkan. Meski tidak ada hadits yang menerangkan tentang pelafazdan niat, tapi melafadzkan niat itu sendiri berguna untuk memperkuat dan megutakan niat yang ada dalam hati.
Mungkin pada zaman itu banyak orang yang selalu was-was dan selalu ragu-ragu, tidak percaya diri, selalu bertanya-tanya apakah dia sudah niat atau belum?
Nah untuk orang sepeti ini, ulama menfatwakan boleh melafadzkan niat, agar rasa was-was dalam dirinya hilang dan berganti dengan keyakinan. Artinya memang pelafzdan niat itu sendiri bukanlah untuk mengganti niat yang dalam hati. Karena bagaimanapun, niat tempatnya itu sudah paten, ya di hati, dan tidak akan bisa pindah.
Apa yang diucapkan itu bukanlah niat itu sendiri, akan tetapi upaya untuk membuang keraguan dan was-was agar sipelakunya juga tenang dalam menjalankan ibadahnya.
Menutup pembahasan ini, ada baiknya kita simak beberapa penjelasan dari ulama 4 madzhab perihal pelafadzan niat ini.
Madzhab Al-Hanafiyah
Imam Ibnu Nujaim dalam kitabnya Al-Asybah wa Al-Nazoir, mengatakan bahwa sama sekali tidak disyaratkan melafadzkan niat dalam segala bentuk ibadah, kecuali pada masalah nadzar. Bahkan beliau mengatakan bahwa itu wajib dalam nadzar.
Setelah melakukan pen-tahqiq (validasi)-an, Imam Ibnu Nujaim berkesimpulan bahwa madzhabnya berpendapat bahwa melafadzkan niat itu adalah sebuah hal yang mustahabb (disukai), dan tidak dilarang. Terlebih lagi jika itu dibutuhkan untuk menguatkan apa yang diniatkan dalam hati.
“Dan yang menjadi pendapat pilihan (madzhab) ialah (melafadzkan niat itu) Mustahabb (disukai), dan ini tidak berlaku untuk beberpa masalah, seperti nadzar. Karena nadzar tidak cukup hanya niat tapi justru harus melafadzkan,” (Al-Asybah wa Al-Nazoir 41).
Madzhab Al-Malikiyah
Melafadzkan niat dalam setiap ibadah tidaklah dilarang, akan tetapi lebih baik itu ditinggalkan. Namun dikecualikan untuk mereka yang was-was dan selalu ragu akan niatnya, maka yang seperti itu menjadi lebih baik untuk dilafadzkan agar hilang keragu-raguannya akan niatnya sendiri.
“Itu menyelisih yang lebih utama (utamanya tidak dilafadzkan), akan tetapi dikecualikan bagi mereka yang peragu, baginya itu justru lebih baik dilafadzkan agar hilang keragu-raguannya,” (Hasyiyah Al-Dusuqi 1/234).
Madzhab Al-Syafi’iyyah
Ini adalah Mazhab yang paling populer mengumandangkan pelafadzan niat, sehingga bagi beberapa kalangan mazhab ini dianggap “keliru”. Wah Ulama sekelas Imam syafi’i dianggap keliru oleh anak kemarin sore yang baru ikut pengajian sekali dua kali!
Ulama dari mazhab ini berpendapat bahwa melafadzkan niat itu sunnah dan ada juga yang mengatakan mustahab dalam setiap ibadah. ini dikerjakan untuk membantu menguatakan apa yang sudah diniatkan dalam hati agar tidak ada lagi was-was dan keraguan.
Akan tetapi melafadzkan niat itu sendiri bukanlah niat. karena niat itu apa yang ada dalam hati. jadi kalau ditinggalkan pun tidak mengapa. dan kalau apa yang dniatkan dalam lisan itu berbeda dengan yang dihati, maka yang dihitung ialah yang di hati.
Salah satu kalimat Imam Al-Syirbini dalam Mughni Al-Muhtaj, “(dan disunnahkah melafadzkan) apa yang diniatkan (sebelum takbir) untuk lisan membantu hati dan itu juga berguna untuk menjauhkan keragu-raguan (was-was),” (Mughni Al-Muhtaj 1/150).
Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam mazhab ini ulama juga juga tidak pada satu suara dalam masalah pelafadzan niat. Ada yang tidak menyukainya (ghoiru mustahab/tidak disunnahkan) dan pendapat ini dinisbatkan kepada Imam mereka yaitu Imam Ahmad Bin Hambal dan ada ulama yang menyukainya (mustahab).
Tapi tidak ada keluar dari salah satu ulama madzhab Hanbali bahwa melafadzkan niat itu bid’ah. Salah satu dari pernyataan Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshof, “Dan tidak disunnahkan (tidak disukai) melafadzkan niat dari 2 pendapat (sunnah dan tidak sunnah) yang ter-manshush dari Imam Ahmad,” (Al-Inshof 1/110).
Kesimpulan:
Bahwa masalah ini diperdebatkan banyak oleh ulama. initinya memang bahwa niat itu dalam hati, bukan di lisan. kalau hati ini sudah berniat, lalu buat apa lagi kita mengucapkannya. Tapi kalau memang jika hanya dengan niat masih membuat ragu dan kurang yakin, pelafadzan niat dibolehkan.
Artinya, kalau memang merasa yakin dengan niat dalam hati, baiknya ya tidak perlu lagi melafadzkannya. Tapi kalau tetap ingin melafadzkan niat itu sebagai penguat, harus pastikan kalau itu tidak mengganggu saudara kita yang juga beribadah disamping kita. Barang kali dia terganggu dengan suara lafadz niat kita yang berisik.[]
Sumber: rumahfiqih.com