Oleh: Daud Farma
AKU di sini, sendirian, kesepian, bersama keheningan, melamun sembari memeluk khayalan: dia akan datang menjemputku. Sedari tadi mataku belum berkedip menatap ke luar jendela. Bulan? Malam ini aku belum melihatnya. Lampu rumahku telah lama dimatikan ayahku. Lampu kamarku? Sengaja tidak aku nyalakan karena tak mau ibu melihatku duduk di tepi jendela dengan menyalakan lilin. Sinar lilinku tak jauh memantulkan cahaya. Satu meter? Lebih kayaknya. Lima meter? Oh terlalu jauh kiranya.
Semuanya telah tidur. Sekarang pukul satu lewat sepuluh menit. Gelap, sepi, sunyi, aku sendiri. Burung yang alis matanya lebar dan tebal itu barusan saja lewat di depan jendelaku. Hampir mematikan lilinku karena angin sayapnya. Aku tahu di mana burung itu hinggap, sudah pasti di pokok nangka di pojok halaman rumahku. Lima belas meter dari rumahku adalah makam umum, dan di samping kamarku, tepatnya di depan mataku memandang saat ini ada pohon-pohon setinggi dua meter, sudah sebulan tak diperhatikan ayahku. Ayah belum sempat membersihkannya sehingga ia terlihat rindang sekali seakan daunnya lebat padahal pohon-pohon di depanku ini sudah lama kurus dan tak sarat daun oleh sebab sekawanan rumput jahat yang mengeroyoknya.
Lilinku sudah habis satu inci, tapi masih banyak tersisa. Tahan untuk dua jam lagi. Ayah dan ibuku sudah tidur pulas, sejak pukul sebelas tadi. Tiba-tiba hujan pun turun, hanya gerimis. Kuulurkan tanganku ke luar jendela. Aku merasakan kedinginan, tapi aku tidak mau memakai jaket, juga tidak mau menutup jendela. Aku ingin menatap ke luar jendela sampai pagi. Seketika tanganku disentuh. Aku kaget, sedikit terkejut. Kurasakan ada yang menyalami tanganku dari luar. Nampaknya seseorang. Hanya sekilas saja, lalu tak kurasakan lagi. Kucoba dengan mengeluarkan setengah badanku keluar jendala. Kulihat kiri kanan tak ada siapa-siapa.
“Ibu?” tanyaku. Tidak ada jawaban. Mungkin ibu bangun lalu keluar menampung air hujan pikirku. Aku bergegas ke kamar ibu. Kubuka pintu, ayah dan ibu ada di kamar. Aku kembali ke kamarku. Kukeluarkan lagi kepalaku.
“Siapa?” tanyaku lebih keras, tidak ada yang menyahut.
“Crek…crekkk..” bunyi suara jendela ruang tamu. Kususul. Ternyata ibu lupa menutup jendela. Aku kunci erat-erat.
“Duar!” suara jendela kamarku seperti dilempar dengan sesuatu diikuti suara halilintar. Aku lari ke kamarku. Lilinku mati. Sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa. Kucoba hidupkan lampu kamar, tidak menyala. Mati lampu.
Macisku yang tadi kuletakkan di samping lilin sudah tidak ada lagi. Aku raba-raba di sekitar kasur, tidak ada. Aku turunkan kakiku, meraba-raba lantai, juga tidak ada. Mungkin jatuhnya ke luar jendela?, tapi kenapa lilinku tidak jatuh?
Aku kenakan jaketku. Aku ingin keluar mengambil macisku agar lilin ini bisa menyala. Begitu hendak membuka pintu, aku ingat pesan ibu yang dulu sering ia ucapkan setelah makan malam.
“Tuti, kamu itu perempuan dan masih umur 9 tahun, tidak boleh keluar rumah.” Itu dulu.
Tapi sekarang umurku sudah 20 tahun. Lagipula aku hanya ingin mengambil macisku. Ibu takkan marah kalau ia tahu aku keluar malam hari hanya untuk mengambil korek api. Aku buka pintu kemudian kukunci dari luar. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sesekali burung yang poros matanya lebar berkedip di pohon nangkaku, lalu ia bersuara. Ingin kuusir ia tapi tidak mungkin. Karena pokok nangkaku sudah ia jadikan rumahnya. Sudah cukup lama burung itu di situ, sudah lebih setahun lalu. Hanya cahaya matanya yang aku lihat.
Hujan begini pemerintah sengaja mematikan lampu untuk desaku, karena rawan sekali. Desaku banyak pohon-pohon besar di tepi jalan raya, pemerintah khawatir pohon-pohon itu ada yang tumbang lalu mengenai tiang listrik.
Aku berjalan dan tanganku sambil meraba dinding rumahku menuju jendela kamar dari sisi luar. Aku sampai di jendelaku. Akhirnya kudapatkan macisku. Lalu kunyalakan lilin. Kusandarkan badanku ke dinding. Kupandangi kiri kanan, tidak ada siapa-siapa. Seketika ada yang melintas di pojok dekat pohon nangka, aku ikuti. Lilin di tanganku masih menyala, kututupi dengan jaketku agar gerimis dan angin tidak meniupnya. Tak berapa lama posisiku sudah ada di bawah pohon nangka. Sesekali burung yang tidak berkeliaran di siang hari ini mulai bersuara. Aku ingin mengikuti jejak yang melintas tadi. Aku masih penasaran dengan orang yang menyalamiku dari luar jendela kamar. Tujuh menit dari tempatku ini adalah kuburan. Aku berhenti. Aku mulai ragu. Tidak mungkin tengah malam begini ada manusia yang suka usil denganku. Menyalamiku? Main kucing-kucingan denganku? Tidak mungkin! Aku ingin kembali ke kamar. Aku mulai gemetar. Aku ingin lari ke dalam rumah.
“Dhupp!!” suara lemparan batu dua meter dariku.
Aku terpaku. Aku tidak bisa bergerak. Aku gemetar. Ingin aku lari sekencang-kencangnya ke kamarku, ingin berteriak, tapi tidak bisa. Seakan ada yang menarikku dari belakang, tapi aku tidak merasakan sentuhannya. Lalu aku balik badan. Tidak ada siapa-siapa. Kulihat pakaian putih berjelan mengarah makam lalu ia hilang begitu cepat. Aku mengikutinya, aku bergerak, kakiku melangkah. Hatiku sebenarnya ingin ke kamar tapi kakiku ingin mengikuti bayangan yang aku lihat. Lilinku mati lalu kuhidupkan, mati lagi, kuhidupkan, lalu mati. Tidak bisa menyala. Sumbunya ditetesi air yang jatuh dari jaketku. Aku berjalan ke arah makam. Sesekali aku hidupkan macis untuk menerangi jalan. Aku setengah sadar.
“Meong!” suara kucing yang tiba-tiba melintas di depanku.
Aku terus berjalan, lalu aku berhenti. Sekitarku sangat gelap, gelap sekali. Angin sudah tak berembus, gerimis sudah reda. Kucoba hidupkan lilin, tidak bisa hidup. Kupatahkan sedikit agar sumbu yang kering bisa menyala. Belum sempat aku menyalakan lilin, ada lampu semacam laser menembak tepat di jidatku. Asal laser itu tidak jaun dariku, mungkin dua meter saja. Tapi aku tidak bisa melihat wajah pemiliknya. Aku berusaha menghidupkan lilinku. Akhirnya bisa hidup!
Kulihat sekelilingku, banyak sekali kuburan. Ternyata aku sudah sampai di tengah-tengan kuburan. Aku mulai mendekat ke arah laser tadi. Semakin kudekati, cahayanya semakin jauh. Aku tetap mengikuti. Aku penasaran dengan yang menggangguku di tengah malam begini. Lebih sepuluh kali kakiku melangkah, aku jatuh karena licin dan lilinku mati, jatuh ke genangan air. Sementara aku masih di tengah kuburan. Aku hanya punya macis. Sesekali kuhidupkan. Aku masih mengikuti cahaya laser merah. Berjalan dan terus berjalan melewati kuburan.
Tidak lama kemudian aku sampai di jalan aspal. Aku sudah melewati kuburan. Tepat di sampingku, di pinggir jalan, pohon beringin yang rindang dan punya akar yang besar-besar. Sudah kubilang, di desaku banyak sekali pohon besar. Sampai saat ini pemerintah belum menghidupkan lampu untuk desaku, padahal hanya gerimis dan malah sudah reda. Mungkin sebentar lagi. Tadi waktu aku di kuburan cahaya laser itu dari pohon beringin ini, tapi sekarang tak ada lagi.
Seketika bahuku ditepuk. Aku sangat terkejut. Aku tidak berani membalikkan badan. Aku ingin berteriak. Tapi aku tidak bisa. Aku menutup mata.
“Lebih baik kau tinggalkan tempat ini!” bisiknya di telingaku. Sebelah kiri.
“Siapa kamu?” tanyaku tanpa balik badan.
“Haikal.” jawabnya.
Aku terkulai, badanku lemas, aku jatuh ke tanah. Aku bangun, kubuka mataku. Aku dapati diriku di atas lantai. Aku jatuh dari kasurku. Ah ternyata hanya mimpi ketemu mantanku si Haikal. []
Gamalia, Senin 26 Februari 2018.