“RAHMA, sini. Tadi ada laki-laki ke sini. Katanya namanya Ramdhan. Katanya lagi, sih … dia sepondok sama kamu. Dulu pengurus santri putra.”
Aku lihat bapak sedang memegang remot televisi saat memanggil.
“Kok tahu rumah kita e, Pak?” tanyaku sambil berjalan mendekati bapak.
“Tadi ke sininya sama Ustadz Heri.”
“Oh … tumben. Kan kita udah nggak di pondok lagi. Apa nganter undangan khataman, ya Pak?”
“Ustadz tadi ndawuhi kalo Ramdhan minta kamu jadi ratunya pas dia jadi pengantin nanti.”
“Nopo e, Pak maksudnya?”
“Cah jaman saiki sok bergaya ora nyambungan.” (Anak jaman sekarang sok bergaya nggak nyambungan.)
Bapak mesam-mesem meledek. Beliau mengelus kepalaku yang ditutupi kerudung warna biru muda.
“Lah? Oh … tapi … apa langsung Bapak terima?”
“Belum, Nduk. Bapak sampaikan mau ngobrol dulu sama kamu. Apa kamu tertarik?”
“Pak, sebagai santri yang sudah lama mondok, Insyaa Allah Rahma paham gimana caranya menghormati ilmu. Yaitu dengan hormat sama guru. Supaya ilmunya Rahma nanti bermanfaat.
Kalo soal tertarik … siapa yang nggak tertarik sama mas Ramdhan? Setahu Rahma dia itu tangan kanannya ustadz, sering badalin (gantiin) ustadz pas ngaji kitab. Tapi … sampe sekarang Rahma belum ada rasa suka ke mas Ramdhan.”
“Kesimpulannya, Nduk?”
“Bapak silakan hubungi ustadz, apa kata ustadz Insyaa Allah Rahma manut. Ustadz sama Bapak lebih paham, mana pemuda baik-baik dan bukan.”
“Alhamdulillah ….”
Sesungguhnya hati ini masih bimbang. Diakah suamiku kelak? Lelaki yang pernah singgah dalam mimpi beberapa hari lalu. []
Yogyakarta, 6 Jumadil Akhir 1437 H